Ulang Tahun

360 13 0
                                    

Setelah pulang sekolah, aku membawakan kado dari Zahra ke tongkrongan. Rencanaku, aku ingin langsung memberikannya dan memberitahu teman-temanku bahwa hari itu adalah hari ulang tahun Fikri. Lalu minta traktiran dan jika tidak maka akan diceburkan ke selokan yang ada di dekat warung.

Berbicara soal ulang tahun, sebenarnya aku adalah orang yang pertama kali diceburkan di sana. Bukan karena tak ingin mentraktir teman-temanku, tapi itu adalah rencana Wiwik dan setelah itu ia membawakan sebuah kue ulang tahun ke tongkrongan. Jujur saja, itu adalah kali pertama aku menerima sebuah kue di saat ulang tahun setelah dua belas tahun terakhir. Kala itu adalah ulang tahunku yang ke 16, dan itulah kenangan yang paling indah selama aku berpacaran dengannya. Dan itu juga termasuk hal-hal yang kuanggap paling berkesan sepanjang hidupku.

Namun rencanaku akan ulang tahun Fikri tak berjalan sesuai apa yang kupikirkan, bahkan aku tak menduga hal itu terjadi. Saat aku sampai di sana, aku melihat Fikri bersama Nissa mantannya duduk berdekatan layaknya orang pacaran. Sejenak aku berfikir, apa mantannya tak tahu bahwa orang yang di dekatnya itu sudah punya pacar. Jika tahu, lantas kenapa ia malah melakukan hal yang tak sewajarnya itu. Tapi jika mereka bisa sedekat itu, tak mungkin jika Fikri tidak menceritakannya.

"Eyy Fikri, ulang tahun ya? Sehat terus ya, panjang umur untuk segala hal baik," ucapku sambil menyalami tangannya.

"Hehe, makasih ya."

"Makasih doang? Gak ada niat buat traktir aku jajan kah? Haha."

"Ambil aja, khusus hari ini semua anak tongkrongan kalau mau jajan aku yang bayar, hehe."

"Idihhh, lagi banyak duit kamu Fik?"

"Hehe, emang udah aku siapin dari jauh hari kok, Lang ... Udah gak usah banyak ngomong, jajan aja sesukamu."

Aku hanya mengambil rokok tiga batang dan segelas minuman gelas yang harganya seribuan di etalase.

"Makasih, Fik."

"Kok itu doang?"

"Gapapa, biar yang lain aja yang jajan banyak."

"Terserah aja deh."

Aku keluar warung, membakar sebatang rokok lalu duduk atas motor yang ada di tempat parkir. Lalu merenungkan segala hal yang terjadi padaku selama ini, dan bertanya-tanya kenapa hatiku seperti tak mau berpindah dari yang sebelumnya. Jika dipikir-pikir, tak hanya satu orang saja yang mendukungku untuk move on, bahkan banyak. Dan satu hal yang melarangku untuk move on hanyalah sikap Wiwik saja. Aku pun juga bingung kenapa aku mudah sekali terpengaruh akan setiap kata yang ia ucapkan padaku, walaupun hanya kata yang biasa kudengar, tapi jika diucap olehnya tiba-tiba menjadi terdengar lebih indah. Aku tak tahu kenapa hal ini bisa terjadi padaku, tiba-tiba saja aku jadi seperti itu setelah pertemuan terakhirku bersama Wiwik.

Aku belum memberikan kado yang dititipkan Zahra, karena aku tak ingin hubungan Fikri dan Nissa itu terjadi gesekan. Walau aku sebenarnya tak suka dengan kedekatan mereka setelah tahu bahwa Fikri adalah kekasih Zahra, hanya saja aku tak ingin cari masalah. Mungkin nanti saat mantannya itu sudah pulang, baru aku akan memberikannya.

Tiba-tiba dan tanpa diduga, Shania datang ke tongkrongan. Dia datang sendirian tak seperti biasanya, aku tahu Zahra sedang sibuk saat ini. Tapi apa maksudnya dia datang ke tongkronganku? Aku bukannya curiga, hanya ingin tahu saja apa tujuannya.

"Erlang, sini," sapanya sambil melambaikan tangan.

"Apa?" jawabku ketus.

"Sini dulu."

Akupun langsung menghampiri Shania, dia membawa kotak kardus berwarna putih yang ukurannya agak besar. Ia melepaskan talinya, dan memberikannya padaku.

"Apa ini?" tanyaku penasaran.

"Kue dari Zahra, dia minta aku buat ngasih ke Fikri ... Kasih ke dia, sana," balasnya sambil menyodorkan kotak kardus itu kepadaku.

"Tapi, di dalam ada mantannya dia ... Gimana coba?"

Shania agak terkejut dengan apa yang aku ucapkan, lalu ia terdiam seperti sedang memikirkan sesuatu.

"Yaudah deh, kamu bilang aja titipan dari seseorang."

"Terus?"

"Kamu bilang aja kalau itu dari aku."

"Emang Zahra gapapa?"

Tiba-tiba Fikri dan mantannya keluar dari warung dan melihat kami berdua, dengan segera aku mengisyaratkan pada Shaia agar menyembunyikan kotak kue itu.

"Cie pacaran," ucap Fikri dari kejauhan.

"Enggak, bangsat ... Kamu tuh yang pacaran" makiku.

"Hahaha," balasnya dengan tertawa lebar.

Shania tak bicara, hanya saja dia tertawa kecil dan menutup mulutnya dengan jilbab yang ia kenakan. Entah apa yang ia tertawakan.

Fikri pergi bersama Nissa mantannya itu, untung saja ia tak melajukan motor ke arahku. Jadi kue itu tak ketahuan.

"Itu mantannya?" tanya Shania.

"Iya,"

"Kok Zahra masih tetep sama Fikri sih?"

"Namanya juga sayang, aku pernah juga sih punya pengalaman kaya gini."

Shania hanya mengangguk-anggukan kepala, entah apa yang sedang ia pikirkan kala itu.

"Shan, emang gapapa kalau Fikri gak tau sama sekali kalau kue itu dari Zahra?" tanyaku sekali lagi.

"Tadi dia bilang, yang penting kasih aja, gitu."

"Owhh, yaudah deh, nanti aku main ke kosnya dia buat cerita tentang ini."

"Terserah kamu aja ... Ngomong-ngomong, aku cuma ada perlu itu aja sih, aku langsung pulang aja ya," pamitnya.

"Nggak ada niat buat mampir dulu di sini, Shan?"

"Enggak deh, besok aja lain kalo, sekarang gak ada Zahra juga soalnya."

"Owhh, yaudah deh, hati-hati ya di jalan, gak usah ngebut"

"Iya, aku pergi dulu, Lang ... Salam buat Fikri, bilangin ke dia, selamat ulang tahun."

Shania langsung pergi begitu saja, meninggalkan diriku yang sedang berada di luar warung tongkrongan. Aku kembali merenung seperti tadi, sambil menunggu Fikri kembali.

Satu jam berlalu, Fikir kembali ke warung sendirian, entah kemana mantannya yang sedari tadi bersama dia itu.

"Habis dari mana, Fik?" tanyaku menyambut kedatangannya.

"Habis nganterin dia pulang," katanya, maksudnya "dia" adalah Nissa mantannya.

"Ada kue nih, dari Shania tadi."

"Kalian makan tuh kue, aku udah kenyang habis makan sama Nissa tadi."

Tanpa basa-basi seluruh manusia yang sedang berada di warung tongkronganku langsung menyerbu kue itu, mungkin hanya aku saja yang sama sekali tak menyentuhnya.

"Ada kado juga, buat kamu, buka aja," kataku sambil membuka tasku dan mengambilnya.

"Dari Shania?"

"Dari Zahra," jawabku sambil menyodorkan bungkusan itu ke Fikri.

"Owhh, bilangin ke Zahra ya, makasih" ucapnya sambil memasukannya ke dalam tas.

"Kamu buka aja sekarang," pintaku.

"Nanti aja, di rumah."

"Terserah deh."

Respon yang tak kusangka, dia sama sekali tak merasa senang saat setelah menerima hadiah dari pacarnya. Zahra harus tahu tentang persoalan ini. Apalagi, Fikri juga tak menyentuh kue itu dan juga tak peduli dengan kado yang diberikan olehnya. Aku sangat kecewa dengan sikap Fikri yang seperti itu. Seharusnya ia tersenyum setelah menerima hadiah dadi Zahra, ya, harusnya.

Setelah Kita Putus (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang