Langkah Pertama

370 17 1
                                    

Dari obrolanku bersama Zahra, semalam aku jadi tak bisa tidur karena terus saja memikirkannya. Tentang alasan mengapa hubunganku dengan Wiwik bisa berakhir. Aku mengerti jika segala hal bisa berubah, tapi bukankah setiap perubahan selalu memiliki alasan kan? Tak mungkin jika semua akan terjadi begitu saja tanpa sebab, dan aku hanya ingin tahu apa penyebab itu.

Mungkin bisa saja aku orangnya membosankan baginya, atau bisa jadi alasannya adalah karena aku pernah melukai hatinya. Tapi itu hanya dugaanku saja, aku lebih ingin mendengarkan langsung dari Wiwik. Aku akan mencari tahu, hanya saja aku tak tahu harus memulai dari mana. Karena aku yakin jika bertanya dengan Wiwik hanya akan melahirkan jawaban yang tak memuaskan, maksudnya dia tak akan mengaku seperti sebelumnya.

Mungkin aku harus meminta saran dari Zahra terlebih dahulu sebagai langkah awal, karena aku yakin dia pasti mau membantuku untuk urusan apapun. Ku datangi kosnya dan untung saja dia ada di sana.

"Zahra ...," panggilku sambil mengetuk pintu kamarnya.

"Ya, ada apa?" balasnya.

"Cuma pengen ngobrol."

"Masuklah."

Aku masuk ke dalam kosnya, lalu duduk di lantai dan bersandar di tembok.

"Ra, dari omonganmu semalam ... Aku kok jadi kepikiran ya sama Wiwik," ucapku memulai pembahasan.

"Omonganku yang mana?"

"Tentang sikap Fikri yang berubah setelah kamu kenal Nissa."

"Pasti kamu merasa kalau Wiwik juga gitu kan?"

"Kok tahu?"

"Udah ketebak."

Lagi-lagi dia bisa mengerti apa yang aku pikirkan, ia selalu paham denganku. Itulah alasan kenapa aku meminta saran padanya saat ini.

"Aku cuma pengen tahu aja, alasan kenapa dia putusin aku waktu itu," kataku memberi penjelasan.

"Jadi?"

"Menurutmu aku harus gimana?"

"Ya kamu tanya lah sama Wiwik."

"Kayaknya dia gak bakal mau jujur deh."

Walaupun aku tak tahu apa yang akan terjadi kedepannya jika misalkan Wiwik kutanyai langsung tentang hal ini, tapi kurasa akan sama seperti apa yang kuduga bahwa ia tak akan mengakui yang sebenarnya.

"Kalau aku sih nggak tahu apa-apa soal Wiwik, coba deh minta saran ke Shania ... Dia kan temen Wiwik juga, mungkin dia tahu sesuatu," ucap Zahra.

"Kurasa kamu benar, Ra ... Yaudah, aku mau ketemu Shania sekarang."

Setelah berpamitan, aku langsung meninggalkan Zahra yang sepertinya sedang sibuk. Tadi kulihat ia sedang berurusan dengan setrika, dan juga tumpukan pakaiannya yang menggunung. Sepertinya itu semua pakaian miliknya yang ada di kosnya kecuali yang dia kenakan saja.

"Shan, kamu dimana?" tanyaku lewat telfon.

"Aku lagi di rumah, ada apa?"

"Ada yang mau aku tanyain, penting."

"Nggak bisa kah lewat telfon?"

"Ketemu aja."

"Kalau harus sekarang ya kamu kesini aja, soalnya aku lagi sama temenku ... Tapi kalau nggak terlalu penting, nanti aja gapapa kan? Kalau urusanku sama dia udah selesai."

"Emm, yaudah deh nanti aja gapapa."

"Aku kabari nanti."

"Oke."

Kututup telfon itu, lalu mengurungkan niatku untuk pergi ke rumah Shania. Aku pergi ke tongkronganku, katanya di sana tak ada siapa-siapa jadi aku ingin menenangkan diri di tempat itu. Sembari merokok dan ngopi santai, aku menunggu kabar dari Shania.

Tak ada satu jam aku menunggu, Shania menelfonku.

"Lang," ucapnya dari balik telfon.

"Ya."

"Urusanku udah selesai."

"Kamu ke tongkronganku aja, kamu tadi ditanyain Tante loh."

"Eh iya kah? Ada siapa aja di sana?"

"Ada aku sama Tante doang, sini deh ... Udah lama juga kamu nggak kesini."

Ia tak membalas pesanku, mungkin dia langsung pergi ke tongkronganku. Benar saja, hanya berselang sepuluh menit saja ia sudah tiba di hadapanku. Shania langsung menemuiku, dan bertanya langsung pada intinya.

"Ada apa?" tanyanya.

"Emm, Shan ... Kamu tahu nggak? Apa yang terjadi sebelum aku putus dari Wiwik, kamu kan temennya, jadi mungkin kamu sedikit tahu tentang ini."

"Apa ya, oh ya ... Dulu sempet sih dia tanya sama aku, dia tanya kalimat yang tepat buat mutusin mantan tapi tetep bisa jadi temen itu gimana."

"Wiwik bilang nggak alasan kenapa mau putus?"

"Enggak sih, tapi kamu tahu kan setelah kalian putus itu nggak lama kemudian dia udah punya pacar lagi ... Kurasa dia deket sama yang lain waktu kalian masih pacaran, ya semoga itu cuma dugaanku aja sih."

Ya, kurasa juga seperti itu. Tapi ini terlalu cepat untuk menyimpulkan apa yang terjadi, jadi aku harus terus mencari tahu tentang hal ini.

"Kamu tahu nggak? Siapa nama orang itu?" tanyaku.

"Enggak, aku cuma tahu kalau dia satu sekolah sama kamu ... Entah jurusan apa dan kelas berapa, yang aku tahu tentang orangnya cuma itu aja."

"Hmm, yaudah deh ... Aku cuma mau tanya itu doang kok."

"Aku kira apaan, tadi aku udah kaget waktu kamu bilang penting ... Eh kok kamu tanya soal Wiwik sih, Lang? Masih belum bisa move on nih ceritanya," ucapnya sambil tertawa kecil.

Dari caranya ia bertanya, Shania seperti sedang meledekku. Meledek diriku yang masih belum bisa move on dari temannya itu. Dia pernah bilang padaku bahwa jangan jadi bodoh karena cinta, tapi setelah cukup lama sejak ia mengatakannya, aku masih sama saja bodohnya seperti yang ia ucapkan.

"Hahaha, mukamu lucu Lang kalau cemberut kaya gitu," kata Shania sebelum aku berkata apa-apa.

"Habis kamu ngeledekin aku sih, aku tuh udah move on dari Wiwik sebenarnya."

"Terus kamu tanyain hal kaya gini tuh buat apa?"

"Cuma kepo aja."

"Yakin cuma kepo, nggak ada sedikitpun perasaan apa-apa gitu?" tanyanya kembali dengan nasa meledek.

"Ya ... Yakin," jawabku gugup.

"Yakin nih kamu udah move on? Kayaknya belum deh, hehe," ucapnya kembali meledekku.

"Shan, udah ah, diem."

Shania hanya tertawa setelah itu, kurasa karena melihatku kembali cemberut yang katanya membuat mukaku menjadi lucu.

"Ngomong-ngomong, ini udah berapa bulan sih sejak kamu putus dari Wiwik?"

"Aku lupa Shan, udah lama juga."

"Kalau udah lama harusnya kamu udah bisa membuka lembaran baru lagi dan sakit hati kamu udah bisa sembuh ... Karena katanya, cuma waktu yang bisa menyembuhkan sakit hati."

"Mungkin aku cuma perlu waktu yang lebih lama lagi, Shan ... Tapi aku yakin kok, Tuhan pasti memberikan yang terbaik di waktu yang terbaik buat aku."

Shania hanya diam setelahnya, kurasa ia sedang berusaha memahami apa yang aku katakan.

"Oh iya Lang, Wiwik kan punya temen deket ... Siapa tuh namanya, Vira kalau nggak salah," ucapnya tak lama kemudian.

"Iya, Vira."

"Kamu tanya ke Vira aja, tapi kemungkinan dia nggak bakal jujur juga soal itu ... Tapi apa salahnya dicoba kan?"

Oh iya, Vira. Teman dekat Wiwik, dan dia pun temanku juga. Aku yakin dia pasti tahu sesuatu tentang ini.

Setelah Kita Putus (Sudah Terbit)Where stories live. Discover now