Jalan Beraspal

326 13 0
                                    

Vira hanya tersenyum sinis setelah mendengarkan penjelasanku tentang apa yang dikatakan Candra padaku, aku tahu lekukan bibirnya itu hanyalah untuk menutupi kekecewaannya. Aku tak tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan hubungan mereka, sampai mereka putus dengan cara yang tak wajar seperti ini. Dan juga, kurasa aku ikut terlibat di dalam masalah mereka.

"Jadi gitu ya," ucapnya masih dengan senyuman sinisnya.

"Ya begitulah adanya, Vir ... Sepertinya dulu kamu salah pilih orang."

"Maaf udah buat kamu jadi punya masalah sama Candra, Tapi kamu gak papa kan? Soalnya pipi kamu ...."

"Gak papa, Vir ... Ini cuma lebam biasa kok, bentar lagi juga pasti sembuh."

Sejak awal aku bercerita, beberapa temanku yang lain juga ikut menyimak apa yang kukatakan. Dan dari ekspresi mereka, teman-temanku seperti tak terima dengan apa yang aku lakukan. Maksudku, kenapa aku tak meminta tolong mereka saat ada hal seperti ini. Aku menyadari jika banyak dari mereka itu jago berkelahi, tapi aku hanya ingin tak melibatkan mereka di sini. Karena aku yakin jika mereka terlibat malah membuat masalah jadi semakin panjang dan menjalar kemana-mana, kuharap mereka semua bisa menyadari itu. Tapi mau bagaimana lagi, mereka tetap tak akan bisa mentoleransi semua yang kulakukan walau sekeras apa aku menjelaskan alasanku pada mereka.

"Lang, lain kali ... Kalau ada sesuatu jangan ragu buat bilang ke kita-kita, untung kamu nggak dikroyok sama mereka Lang," tutur Arya bak pahlawan.

"Iya iya ah, maaf ... Udahlah, jangan buat aku pikiran."

"Tapi kamu hati-hati aja, Lang ... Mereka nggak bakal diem aja setelah ini, lagian kan berantemnya kalian itu kepisah sama warga," ucap Tohir menasehatiku.

"Santai aja, aku bisa jaga diri kok," jawabku sambil tersenyum ke arahnya.

"Aku pikir kamu lebih baik cari aman aja dulu Lang, soalnya kalau Candra dan temen-temennya masih nyariin kamu bakal ada kemungkinan mereka dateng ke sini," saran Vira juga menasehati.

"Emang dia tahu tempat ini?"

"Dulu aku pernah nyuruh dia buat jemput aku di sini, aku juga pernah bilang kalau tempat ini tongkrongan anak sekolahmu."

"Ya mungkin bener kata Vira, Lang ... Tapi tenang aja, kalau perlu kita bantai aja di sini sekalian," ucap Setyo dengan semangat.

"Bener tuh, kemaren aja ada anak kelas satu Jurusan Listrik yang dicegat sama mereka," jelas Fikri.

"Eh yang bener, Fik?" tanyaku.

"Iya Lang, kamu tanya aja sendiri kalau nggak percaya ... Pokoknya kita harus balas dendam."

Keadaan di tongkrongan menjadi ribut membahas tentang tawuran, bahkan keributan itu bisa mengalahkan suara hujan deras yang sedari tadi mengguyur bumi bagian sini. Walaupun sejujurnya aku tak mau jika hal seperti itu terjadi, selain bisa mencoreng nama baik sekolah, dengan tawuran juga bisa membuat seseorang terluka.

"Wik, ada yang mau aku tanyakan sama kamu ... Tapi aku rasa nggak sekarang, mungkin beberapa hari kedepan," ucapku ke Wiwik saat hujan mulai sedikit mereda.

"Aku tunggu pertanyaanmu, Lang," balasnya.

"Kamu juga, Vira."

"Iya, Lang."

Hujan mulai reda dan langit sudah mulai gelap, kusuruh Wiwik dan Vira untuk segera pulang. Bukannya aku mengusir karena masih ada rasa benci di hati, tapi aku hanya tak ingin Wiwik dimarahi oleh orang tuanya karena pulang terlalu larut. Dulu pernah terjadi seperti itu, dan aku kasihan padanya jika sampai terulang kembali.

Beberapa temanku juga sama berencana untuk pulang ke rumah masing-masing, tapi aku lebih memilih untuk tetap di tongkrongan untuk sekedar memikirkan alasan tentang pipiku ini pada orang tuaku. Namun tetap saja aku pulang ke rumah beberapa saat kemudian, karena tak ada satupun dari teman-temanku yang memilih untuk tetap tinggal setelah hujan reda. Aku pun pulang dengan keadaan pipi memar, ku yakin jika nanti saat sampai di rumah pasti ibuku akan menanyakannya. Jadi aku harus punya alasan yang cukup kuat agar ia tak menduga bahwa aku habis berkelahi dengan seseorang, karena sejak kecil ibuku paling tak suka jika aku berkelahi. Bahkan hingga sekarang masih seperti itu.

Terus kulajukan sepeda motorku dengan cepat, aku takut hujan turun lagi sebelum sampai di rumah. Entah mengapa aku jadi gelisah saat aku berhenti di lampu merah, seperti ada yang memperhatikanku sejak tadi. Semoga itu hanya firasatku saja, tapi kurasa tidak juga. Benar, sejak awal memang ada yang mengikutiku dari belakang.

Kupercepat lagi laju sepeda motorku, bahkan sampai memasuki 80Km/Jam dan stabil di situ. Kulihat dari kaca spion seorang laki-laki berjaket hitam di belakangku juga melakukan hal yang sama, sedangkan pria yang membonceng di belakangnya terlihat sedang berkomunikasi dengan seseorang lewat hpnya. Aku menduga sesuatu hal yang buruk akan terjadi padaku, aku pun berbelok ke pom bensin untuk mengamankan diri dan mereka terus melaju tanpa memperdulikanku lagi.

"Aku lewat jalan memutar aja deh kalau gini, siapa tahu aku dicegat kalau lewat jalan yang biasanya," batinku.

Kutunggu beberapa menit sebelum aku kembali berjalan, pikirku dua orang itu sudah jauh dari tempat dimana aku berada sekarang. Tapi ternyata aku salah, sebongkah batu terlempar ke arahku saat akan menyebrang dan untung saja hanya mengenai jalanan beraspal. Saat kulihat ke arah dari mana lemparan batu itu berasal, aku mendapati puluhan orang sedang menantikan aku keluar dari pom bensin itu. Dan satu hal yang membuatku sangat terkejut, ada Candra juga di sana.

"Woy, anjing ... Jangan lari," maki salah satu orang dari mereka kepadaku.

Aku yang gelagapan langsung melarikan diri, tak peduli lampu lalu lintas sedang merah namun aku tetap terus melajukan motorku di sisi jalan yang lain. Hampir saja aku tertabrak mobil sedan hitam, lalu disusul makian dari sang pemilik mobil itu. Aku tak memperdulikannya, yang penting diriku bisa selamat dari kejaran Candra dan teman-temannya. Tapi sayangnya, satu dari mereka yang mengejarku bisa menyusul. Ia menendangku dengan sekuat tenaga yang ia punya, dan aku memperlambat laju kendaraanku agar tak terjatuh. Kurasa aku tak bisa melarikan diri lagi, karena tak lama setelah itu Candra dan yang lainnya sudah mengerubungi diriku di pinggir jalan yang sepi.

"Kayaknya ini akhir dari semuanya, Lang," ucapku di dalam hati untuk diriku sendiri.

Candra menendang sepeda motorku hingga terjatuh, lalu diikuti teman-temannya yang memukul tubuhku hingga tersungkur di aspal. Terus saja mereka menyerang dan juga merusak kendaraanku dengan melemparinya dengan batu. Masih untung batu itu tak mereka lemparkan ke arah tubuhku, luka yang kuterima bisa lebih parah jika mereka melakukannya. Saat ini tubuhku terlihat seperti makanan yang dikerubungi lalat, mereka tak ada henti-hentinya melukaiku. Dan dengan segala kekuatan yang tersisa, aku mencoba untuk berlari menjauh. Tapi nasib baik tak berpihak kepadaku saat ini, aku malah ditabrak motor yang lewat hingga tubuhku terpental.

Darah merah mulai mengucur dari kepalaku, dan disaat itu pula aku kehilangan kesadaran secara perlahan. Semua terlihat gelap sekarang, hanya ada suara keramaian yang terdengar samar dicampur bunyi hujan yang mulai turun dari langit. Ya sepertinya memang benar dugaanku, ini akhir dari semuanya.

Setelah Kita Putus (Sudah Terbit)Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora