Egois

411 14 0
                                    

Aku tak mengerti kenapa akhir-akhir ini Zahra jadi tak seperti biasanya, bahkan tak ada satupun aktivitas yang ia lakukan di semua sosial medianya. Sudah seminggu sejak ia bertemu dengan Fikri, dan aku tak pernah lagi melihatnya setelah itu. Bahkan kata Shania, dalam seminggu terakhir ia tak berangkat ke sekolahnya selama tiga hari tanpa izin, dan di dua hari lainnya ia hanya nampak murung di kelas. Cemas, itu pasti, setiap harinya seperti itu ketika aku teringat tentang Zahra. Tapi saat aku mencoba untuk berkomunikasi dengannya selalu tak sesuai harapan, saat ku datangi kosnya ia selalu tak ada di sana.

Walau aku tahu ia tak akan terpikirkan untuk masuk ke dunia malam, tapi tetap saja aku selalu mencemaskannya jika ia tak pernah ada di rumah. Sebelumnya, Zahra tak pernah seperti ini jika sedang punya masalah. Sekalipun jika sekarang Zahra punya persoalan, hal macam apa yang bisa membuatnya jadi seperti itu.

Dua hari berturut-turut setiap aku pulang sekolah, aku selalu menyempatkan diri untuk mencoba menemui Zahra di kosnya, tapi tak pernah sedetikpun kami berdua berjumpa. Juga saat kemarin aku bertanya kepada ayahnya, ia malah berkata bahwa Zahra tak ingin ada orang lain tahu dimana dia. Ya mau bagaimana lagi, kuharap di manapun dia berada, Zahra tetap baik-baik saja.

"Zahra ke mana ya? Udah seminggu nggak ada kabar sama sekali dan dia juga nggak pernah ada di kosnya," batinku saat memandangi langit-langit kamarku.

Ku kirim pesan ke kontak Zahra, tapi ia masih offline sejak seminggu terakhir.

"Apa aku harus ke kosnya sekali lagi ya, siapa tahu dia ada di sana sekarang," ucapku di dalam hati sekali lagi.

Aku sempat terfikir untuk tidak melakukannya, mengingat sudah dua kali aku ke kosnya dan tak ada hasilnya. Tapi tetap saja aku harus pergi, untuk memastikan dia sudah kembali atau belum. Dan ternyata, masih sama seperti sebelumnya, ia tak ada di sana.

Aku duduk di sofa yang ada di balkon, menatap bulan sabit yang bersinar menerangi bumi malam.

"Nyari siapa mas?" tanya perempuan penghuni kamar sebelah.

"Ohh, cari Zahra mbak ... Mbak tau dimana dia?"

"Enggak sih, tapi terakhir ketemu, dia bilang kalau mau pergi sebentar ... Kukira cuma kemana gitu, ternyata sampai tiga hari nggak pulang-pulang."

Semakin cemas saja perasaanku setelah mendengarkan apa yang perempuan itu katakan.

"Tapi katanya, dia pulang malam ini," ucapnya.

"Hah? Dia pulang malam ini?"

Aku begitu terkejut, sekaligus merasa senang setelah ia mengatakan hal itu.

"Iya, barusan Zahra telfon aku ... Minta tolong buat jemput dia di terminal, kalau kamu aja yang jemput gimana? Sebenarnya aku sedang sibuk ngerjain tugas kuliah."

"Jam berapa dia sampai?"

"Nggak tahu juga sih, tapi tadi dia bilang udah deket ... Mungkin bentar lagi sampai, kamu tunggu aja di terminal kalau mau jemput."

Tanpa sepatah kata lagi aku langsung pergi ke terminal, tapi dia belum ada di sana juga saat aku sudah sampai. Kutunggu Zahra dan akhirnya dia tiba tak lama setelah itu. Saat turun dari bis nya, ia melihatku dengan pandangan seperti sedang menyesal. Aku tak tau bagaimana raut wajahku saat melihatnya, tapi masa bodoh juga tentang itu. Aku sedang kesal dengannya, karena telah membuatku cemas selama ini.

"Hey Lang," sapanya untukku sembari tersenyum di hadapanku.

"Naiklah! temenmu yang nyuruh aku buat jemput kamu."

"Ohh, okey."

Aku melajukan sepeda motor yang kupakai ke arah jalan pulang, hanya saja aku berhenti di tengah perjalanan. Kami berhenti di sebuah deretan ruko pinggir jalan yang sudah tutup, wajar saja saat itu malam sudah terlalu larut untuk aktivitas perdagangan.

"Kenapa Lang? Macet? Apa bensinnya habis?" tanya Zahra polos.

"Ada hal yang mau aku tanyakan."

"Kalau gitu, tanyanya di balkon kos aja, sambil ngeteh hangat," ucapnya sambil tersenyum.

"Nggak."

Ia terkejut setelah itu, lalu senyum manis di wajahnya perlahan pudar.

"Ada apa, Lang?" tanya Zahra pucat.

"Kenapa kamu hilang sejak seminggu terakhir? Kamu kemana aja selama ini?"

"Ya, ada yang harus aku lakukan di Semarang ... Sesuatu yang penting sampai aku sama sekali nggak sempet buka hp, jadi aku gak bisa kasih kabar."

"Orang-orang gak tahu kamu kemana, bahkan kedua orang tuamu juga merahasiakannya, kamu juga nggak bilang sama aku sebelumnya ... Ada apa?"

"Setiap orang punya rahasianya masing- masing, Lang ... Kamu harus memahaminya, aku juga yakin kalau kamu juga punya hal seperti itu."

"Ada masalah apa?" tanyaku melembutkan suaraku.

"Aku gak papa," jawabnya sambil tersenyum, tapi senyuman itu sama seperti saat ia menunjukan senyum palsu sebelumnya.

"Kalau kamu bilang gapapa tapi jika raut wajahmu seperti itu, siapa yang mau percaya?"

Ia terdiam setelah mendengarkan ocehanku, sekarang aku yakin Zahra akan menjelaskan semuanya saat ia mulai angkat suara. Tapi ternyata tak sesuai dengan dugaanku, ucapannya malah semakin jauh dari apa yang kami berdua bahas sejak awal.

"Sejak kapan kamu jadi kaya ini, Lang?" tanyanya dengan kepala yang tertunduk.

Aku terkejut dengan jawabannya yang seperti itu, aku jadi tambah kesal karena ucapannya yang semakin mengarah ke hal lain.

"Harusnya aku yang tanya itu, dulu kamu selalu terbuka sama aku ... Kamu pernah bilang bahwa kamu suka cerita, apalagi kalau aku yang dengerin, sejak kapan kamu jadi kaya ini?"

"Aku udah bilang kan kalau ada sesuatu yang harus aku lakuin di sana?"

"Lalu kenapa sekarang kamu rahasiain sesuatu dari aku Ra? Apa yang terjadi sampai kamu pergi nggak bilang-bilang?"

"Harus berapa kali aku ngomong?"

"Aku cuma ingin tahu apa alasannya kamu pergi selama ini, cuma itu aja," ucapku melembutkan nada bicaranya sekali lagi.

"Ya, seperti kebanyakan orang di luar sana ... Kamu cuma ingin tahu, bukan peduli."

Aku sangat terkejut dengan apa yang ia ucapkan, sama sekali tak kuduga ia bisa bicara seperti itu. Bahkan, aku sempat berfikir bahwa yang ada di hadapanku ini bukanlah Zahra.

"Kenapa kamu jadi egois kaya gini, Lang? Kamu cuma mikirin apa yang kamu mau tanpa peduli sama apa yang orang lain pikir ... Ada beberapa hal yang emang kamu nggak harus tahu, dan ini salah satunya."

Aku terbungkam seribu bahasa, seperti tak ada sepatah kata lagi yang mampu keluar dari mulutku.

"Ya terserahlah, sejak awal aku tahu kamu bakal kesel sama aku, bahkan sejak aku masih di Semarang pun aku udah yakin hal kayak gini terjadi," lanjutnya, ia pun mulai meneteskan air matanya perlahan.

"Ra, yaudah, maaf ... Kamu nggak perlu menangis begi...," ucapku tak tega, tapi sebelum aiu selesai mengucapkan kalimat itu, ia memotong ucapanku.

"Emang kenapa? Aku nangis gini kan juga karena kamu!!!" jawabnya dengan berteriak bercampur isak tangis.

Mataku membelalak karena sangat terkejut akan kata-kata yang ia lontarkan kepadaku, aku kembali terdiam tak bisa berkata apa-apa lagi.

"Bukannya aku suka ikut campur sama urusanmu, tapi asal kamu tahu ... Mana mungkin aku sebagai temanmu cuma diam aja setelah tahu kamu sedang bersedih kaya gitu," ucapku karena tak tega melihat air mata Zahra menetes sia-sia.

"Alasan ini semua adalah aku putus sama Fikri, dan aku ke Semarang buat tenangin diri ... Kamu puas sekarang?" teriaknya sekali lagi.

Setelah Kita Putus (Sudah Terbit)Where stories live. Discover now