3. Naura

18.8K 1.7K 114
                                    

"You don't have to do this, you know?"

Mendengar itu, Rafisqi mengalihkan fokus dari berkas-berkas yang ada di tangannya. David yang baru saja memasuki ruang kerja Rafisqi langsung menghujaninya dengan tatapan protes seraya berkacak pinggang. Atensi pria berkaca mata itu kemudian berpindah ke meja rendah yang ada di hadapan Rafisqi dan dia sontak berdecih pelan.

"Langsung tanya ke yang bersangkutan apa salahnya, sih?"

"Begini lebih efektif."

Rafisqi menjawab cuek dan kembali menekuni kertas di tangannya. Ngomong-ngomong, dia baru tahu kalau ternyata Naura meneruskan pendidikannya di SMA Kartini begitu lulus, tidak seperti 98% teman-teman SMP-nya yang tetap melanjutkan sekolah di yayasan yang sama. Kira-kira apa yang membuat gadis itu memilih sekolah lain yang lokasinya jauh di pinggir kota?

"Right. Menyuruh orang untuk menguntit calon istrimu adalah tindakan normal yang sangat bermoral."

Bukannya Rafisqi tidak menyadari nada menyindir dalam perkataan David barusan, tapi meladeni pria itu sekarang sama saja dengan memancing lebih banyak ceramah mengenai moral dan tata krama. Mendiamkannya jauh lebih baik.

"Menyelidiki," ralat seorang pria lain yang sejak tadi cuma duduk diam di sofa seberang Rafisqi. "Bukan menguntit."

Rafisqi mengangkat jempolnya untuk pria yang barusan bicara. Jujur saja, dia lebih suka dengan istilah yang barusan. Orang yang dipuji cuma melemparkan seringaian penuh kemenangan ke arah David.

"Kau memerintahkan anak buahmu mengikuti gadis ini kemana-mana," protes David tidak mau kalah. "Itu apa namanya kalau bukan menguntit?"

Pria bertato dengan satu tindikan di telinga itu terlihat berpikir selama sesaat. "Supaya Bos tidak membeli kucing dalam karung?"

"Damn, Ris!" Akhirnya David ikut menghenyakkan tubuhnya di sofa panjang, tepat di sebelah Rafisqi. Tangan kanannya terulur untuk meraih satu dari puluhan foto yang tersebar di atas meja. "Cantik begini disamain sama kucing."

Rafisqi menoleh ke samping, ikut memperhatikan foto yang ada di tangan David. Di sana tampak sosok seorang gadis berambut panjang sebahu sedang berdiri sendirian di halte bus. Pandangan terfokus pada ponsel di tangannya, sama sekali tidak sadar dengan keberadaan orang asing yang sedang mengambil fotonya dari seberang jalan.

Bisa dibilang dia sependapat dengan David. Di pertemuan mereka malam itu, ketika kedua keluarga membicarakan tentang perjodohan, Rafisqi juga mengakui kalau seorang Naura Alraisa Anhar tidak bisa dikatakan jelek. Dibanding 'cantik', gadis itu sepertinya lebih cocok dengan kata 'manis'. Hidung mancung dan kulit putih miliknya sudah pasti diturunkan dari kakeknya yang berdarah Inggris. Selain dua hal tersebut, tidak ada tanda-tanda lain yang menunjukkan kalau dia adalah keturunan bule. Gadis itu tidak terlalu tinggi, puncak kepalanya bahkan tidak mencapai dagu Rafisqi, dan warna mata serta rambutnya tetap seperti orang Indonesia kebanyakan. Namun, bisa dibilang sepasang mata berbentuk almond dengan iris cokelat tua itulah fitur Naura yang paling melekat di ingatan Rafisqi. Bagaimana mungkin dia bisa melupakan mata yang terus-terusan memberinya tatapan tajam itu?

Mereka memang sudah pernah bertemu ketika SMP, tapi ingatan Rafisqi tentang Naura pada masa itu tidak terlalu jelas. Mereka tidak dekat dan saat itu tidak ada alasan baginya untuk mengingat-ingat ciri Naura dengan seksama.

"Hm, tapi ...," David meraih foto Naura yang lain. "sepertinya bukan tipemu, Fiq."

"Enggak ada pengaruhnya juga." Rafisqi angkat bahu. "Yang penting dia perempuan."

Sejak bertahun-tahun yang lalu, Rafisqi sudah membuang jauh-jauh daftar kriteria khusus yang dicarinya pada diri seorang perempuan. Lagipula apa yang bisa diharapkan dari orang yang tidak berniat menikah sepertinya? Manusia tidak akan mati meskipun tidak punya pasangan. Rafisqi sebenarnya sudah siap untuk membujang seumur hidup, tapi sebulan yang lalu tiba-tiba saja papinya bersabda. Papi, dengan sekian banyak penyakit di tubuhnya dan yang selalu beranggapan bahwa setiap hari adalah hari terakhirya di dunia, menyuruhnya untuk cepat-cepat menikah. Tindakan pria tua itu bahkan sudah sampai ke tahap ekstrim, di mana dia terang-terangan bilang kalau itulah pesan terakhirnya untuk Rafisqi dan setelah ini dia tidak akan meminta apa-apa lagi.

[End] Perfectly ImperfectWhere stories live. Discover now