11. After all this time

14.9K 1.8K 200
                                    

⚠ Beware: super long chapter ahead .-.

.
.
.

"Berhenti di sana sebentar."

Rafisqi menyeletuk ketika sebuah toko bunga di bahu kiri jalan tertangkap pandangannya. Di sebelahnya, David yang sedang menyetir ikut melihat ke arah yang sama.

"Enggak ke rumah dulu?" Meski bertanya begitu, David mulai memperlambat laju mobil dan menepikannya perlahan.

"Mumpung sudah di dekat sini."

Rafisqi melepas sabuk pengamannya dan membuka pintu mobil. Dia tidak menghabiskan waktu terlalu lama di toko tersebut dan kembali ke mobil dengan sebuket bunga merah muda di tangannya.

David sudah tahu harus ke mana meskipun Rafisqi tidak pernah menyebutkan tempat tujuannya secara gamblang. Dia masih enggan untuk berbicara banyak. Makanya, sama seperti di perjalanan dari bandara tadi, kali ini pun dia memilih untuk tetap diam seraya memandang jalanan di depan. Rafisqi tidak bisa menampik perasaan familier yang dirasakannya ketika melewati jalan ini. Dulu dia melewatinya berulang-kali. Ditambah dengan adanya David di dekatnya, yang bukan lagi dalam bentuk panggilan video maupun telepon, membuatnya semakin yakin bahwa dia benar-benar sudah pulang.

Sejujurnya, semua yang terjadi selama seminggu belakangan terasa berkelebat begitu saja. Rafisqi seolah melalui semuanya dalam mode auto-pilot, tanpa benar-benar mengingat apa saja yang dilakukannya selama periode waktu tersebut. Yang dia ingat hanyalah takut dan kalut. Selama berbulan-bulan dia berusaha mencari-cari alasan dan pembenaran agar tidak perlu kembali secepatnya, tetapi telepon dari Dharma malam itu membuatnya berubah pikiran dalam sekejap.

Fiqi, papi masuk rumah sakit. Masih di ICU. Belum sadar. Kau bisa pulang?

Dan hari itu Rafisqi berharap dia bisa berada di rumah dalam waktu singkat. Sepertinya bulan Maret masih setia menyajikan kejadian yang hanya akan menjadi ingatan buruk baginya di kemudian hari.

Syila akhirnya hamil anak pertamanya setelah bertahun-tahun menanti. Itu seharusnya kabar yang membahagiakan, kalau saja kakak perempuannya itu tidak memiliki kandungan yang lemah. Di trisemester awal, sudah berulang kali dia harus menemui dokter dan hal itulah yang membuat orang tua mereka memutuskan untuk pulang ke Indonesia. Sebulan di sana, penyakit jantung papi malah kambuh dan harus dilarikan ke rumah sakit. Mengetahui Dharma tiba-tiba meneleponnya dan tanpa ba-bi-bu memintanya pulang, membuat Rafisqi sadar bahwa yang kali ini bukanlah sekedar serangan jantung yang biasa.

Rafisqi sudah berusaha agar bisa pulang secepatnya, tapi butuh waktu seminggu baginya untuk benar-benar bisa kembali. Dia harus mengajukan cuti kuliah dan mengurus penundaan magang di kantor yang sebelumnya sudah ditentukan pihak kampus. Dia bahkan sampai membawa Al ikut serta, meskipun Meisy sudah menawarkan diri untuk mengurus kucing itu. Soalnya, entah kenapa Rafisqi merasa dia tidak akan bisa kembali ke New York dalam waktu dekat.

"Aku tunggu di mobil saja." David memarkirkan mobil di dekat gerbang pemakaman. "Sudah lama tidak ke sini, kan? Take your time."

"Enggak akan lama kok." Rafisqi meraih buket bunga yang tadi ditaruhnya di bangku belakang. "Cuma mau menyapa sebentar."

Rafisqi mempercepat langkahnya begitu turun dari mobil. Gerbang putih besar itu masih sama seperti terakhir kali dia melihatnya. Baru saja melewati gerbang masuk, dia berselisih jalan dengan seorang pria tua. Pria dengan rambut yang sudah memutih total itu memasang senyum, yang langsung dibalas Rafisqi dengan sapaan. Dia sudah terlalu rutin datang ke sana, sampai-sampai semua pengurus dan penjaga pemakaman hapal dengan wajahnya.

"Siang, Pak Wahyu."

"Nak Rafi, sudah lama nih nggak ke sini!" Yang disapa menjawab dengan antusias. "Kabar baik? Katanya sekarang tinggal di Amerika."

[End] Perfectly ImperfectOnde histórias criam vida. Descubra agora