9. Walking in time (2)

15.3K 1.6K 166
                                    

/Part 2/
Kalo misalnya lupa karena udah agak lama, silakan dibaca lagi part 1-nya ^^

.
.
.
.
.

"Exposure therapy?"

Rafisqi mengulangi dua kata yang baru saja diucapkan dokter Mikaela. Istilah barusan entah kenapa terasa familier.

Di depannya, dokter Mikaela mengangguk. "Biasanya untuk mengatasi fobia, post traumatic stress disorder dan juga anxiety. Dulu pernah kita coba untuk meringankan fobiamu, ingat?"

"Oh, benar. Terapi horor."

Rafisqi berhasil mengingat terapi yang teramat sangat tidak mengenakkan itu. Dokter Mikaela menyebutnya "Exposure Therapy", tapi Rafisqi lebih suka menganggapnya sebagai "Please face your nightmare and just pray you won't die in the process". Dia refleks meringis sewaktu terbayang kembali teror yang dulu mesti dirasakannya. Gara-gara terapi yang satu itu, dia harus memaksakan diri berdekatan dengan anak-anak, berkunjung ke rumah sakit secara berkala, sekaligus sering-sering ke laut untuk mengatasi ketakutannya pada perairan yang luas dan dalam.

Setelah semua pengorbanan itu, fobianya tetap tidak berhasil sembuh total, tapi untunglah dampaknya lumayan bagus. Dia mampu berada di dekat anak-anak, asalkan tidak menyentuh mereka. Dia sukses memasuki rumah sakit, tapi tidak bisa berlama-lama di dalamnya. Dia bisa pergi ke laut, walaupun hanya sebatas berdiri 10 meter dari bibir pantai.

Lalu kenapa terapi yang satu itu lagi-lagi muncul dalam pembicaraan?

"Inti dari terapi ini adalah exposing someone to their fear or trauma. Kalau seseorang dibiasakan menghadapi hal yang dia takuti, lama kelamaan akan muncul perasaan terbiasa." Dokter Mikaela memperbaiki posisi kacamatanya dan memandangi Rafisqi lekat-lelat. "And you know what? Sepertinya selama ini kau lanjut menerapkan prosedur terapi ini tanpa sadar.

"Menurutmu, kenapa kau bisa lebih dekat dengan anak-anak? Kenapa kau bisa sangat sering menginjakkan kaki di rumah sakit? Karena ada sesuatu yang, mau tidak mau, membuatmu terekspos pada hal-hal itu, bukan?"

Rafisqi tidak menjawab, tapi dia membenarkan dalam hati. Memang ada sesuatu yang mendorongnya agar berdekatan dengan semua yang disebutkan dokter Mikaela.

"Jadi, kenapa tidak kita coba terapkan pada Leah? Kau tidak harus langsung bertatap muka dengannya. Let's start small. Bisa dimulai dari berkirim pesan, lalu dilanjutkan secara bertahap. Jangan khawatir. Aku bersedia mendampingimu dalam prosesnya, Fiqi."

***

Percakapannya dengan dokter Mikaela tempo hari kembali terngiang. Namun, yang terjadi saat ini benar-benar ada di luar rencana. Dia malah bertemu Leah secara langsung, disaat tidak ada seorang pun yang mendampingi, dan tidak perlu dipertanyakan lagi bagaimana kondisinya sekarang. Rafisqi sungguh tidak siap menghadapi momen ini, baik fisik maupun mental.

Dialah yang pertama kali memutus kontak mata mereka. Dengan tangan agak gemetaran, Rafisqi buru-buru mengemasi barang-barangnya yang berserakan di atas meja.

Dia sudah mengacaukan hidupku. Membawaku ke titik ini. Belum terlambat untuk memberinya pelajaran.

Aku harus pergi. Aku tidak ingin melihat wajahnya. Apa pun yang terjadi, aku tidak mau berurusan dengannya lagi.

Rafisqi merasa hati dan pikirannya ikut terbelah dua. Di satu sisi dia ingin membalas dendam, marah dan mengamuk sejadi-jadinya. Di sisi lain, dia hanya berharap bisa menghilang dari sana saat itu juga dan melupakan semua kejadian hari ini. Bulan Maret terlalu mengerikan. Mungkin memang sebaiknya dia tidak keluar rumah saja sampai bulan Agustus tiba.

[End] Perfectly ImperfectWhere stories live. Discover now