17. On and off (2)

10K 1.3K 116
                                    

/Part 2/

.
.
.

Setelah acara pemotretan pre-wedding di laut waktu itu, Rafisqi berusaha sebisa mungkin untuk menjaga jarak dari Naura. Minimal sampai hati dan pikirannya kembali tertata. Hal yang sangat bodoh dan nyaris mustahil, memang. Alasannya sangat jelas. Pertama, mereka-akan-menikah dan mau tidak mau harus tetap sering bertemu demi mengurus segala tetek bengek acara yang akan berlangsung kurang dari satu bulan lagi.

Kedua, Papi selalu mengundang gadis itu ke rumah setiap ada kesempatan. Ayahnya bahkan sampai mengutus supir keluarga untuk mengantar jemput Naura tiap kali Rafisqi "berhalangan" melakukannyaㅡpercayalah, di hari ketujuh dia sudah mulai kehabisan alasan untuk mengelak. Pada hari kesepuluh, dia akhirnya memutuskan untuk kembali bekerja meski sudah dilarang Dharma dan dikatai workaholic akut oleh Syila. Namun, dia tetap bersikeras. Jika dengan sibuk bekerja otaknya bisa agak waras, maka kenapa tidak?

Ketiga, Naura telah melebur ke dalam keluarganya dengan teramat sangat mulus. Tidak hanya sekali dua kali Rafisqi menemukannya sedang duduk di ruang keluarga menonton televisi bersama Papi atau di dapur sibuk memasak bareng Mami. Terkadang gadis itu ditemukannya tengah bersantai minum teh di samping kolam renang bersama Papi, Syila dan Balqis, sertaㅡtidak ketinggalanㅡAl yang juga ikutan nongkrong di dekat kaki meja. Naura menyatu secara natural dalam keseharian keluarga Mavendra dan Rafisqi tidak tahu harus terharu ataukah khawatir karenanya.

Dari awal permasalahan ada padanya dan Rafisqi benci dirinya yang tidak jelas seperti ini.

"Fiqi?"

Rafisqi yang baru saja keluar kamar segera menoleh ke arah Papi yang duduk sendirian di ruang tengah. Baik televisi yang tengah menyala, maupun koran yang terkembang di atas pangkuan, diabaikannya begitu saja demi memusatkan perhatian pada Rafisqi yang sedang melangkah cepat menuruni tangga.

"Kenapa, Pi?" tanyanya seraya berjalan mendekat. "Mau kuambilkan sesuatu?"

Pria paruh baya itu menggeleng. Matanya tertuju pada kunci mobil di tangan kiri Rafisqi. "Ke tempat Tata?"

Rafisqi mengangguk. "Sekarang tanggal 19." Berhubung sedang berada di Indonesia, rasanya bakalan aneh kalau dia tidak melakukan kebiasaannya mengunjungi makam Tata di hari ke-19 tiap bulan.

"Papi tahu," tukas Papi dengan agak merenung. "Sudah lama juga Papi nggak pergi ziarah."

"Nanti. Kalau sudah semakin baikan."

"Benar." Ayahnya itu terkekeh pelan. "Semoga bisa ke sana secepatnya. Papi titip do'a saja, deh. Semoga bisa ke sana secepatnya."

"All right."

"Hari ini ada rencana ketemu Naura?"

Nah, belum apa-apa papinya sudah bertanya tentang Naura. Lagi.

"Ada. Disuruh ke butik sama mbak Balqis."

Pada titik ini, Rafisqi seolah hanya membiarkan dirinya terbawa arus tanpa benar-benar tahu bagaimana seharusnya bersikap. Mila memintanya memilih desain undangan? Oke, dia akan mengiyakan dan memilih satu. Balqis menyuruhnya datang untuk keperluan fitting baju? Tidak masalah. Dia bakalan langsung mematuhinya tanpa banyak bertanya.

Tapi apa sebenarnya yang paling dia inginkan?

"Tidak lama lagi ya, Fiq," seru Papi dengan  wajah yang mulai berseri-seri. "Kalau begitu, titip salam saja ya, buat calon menantu Papi."

Rafisqi mengangguk sambil tersenyum tipis.

Bisa dibilang sejak awal dia melakukan semuanya untuk Papi, demiㅡyang katanyaㅡpermintaan terakhir pria itu. Namun apa memang cara inilah yang dia harapkan?

[End] Perfectly ImperfectNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ