9. Walking in time (1)

15.2K 1.5K 100
                                    

Orang bilang waktu adalah konsep yang abstrak. Kadang terkesan bergerak sangat lambat, kadang malah berlalu secepat kilat. Bagi Rafisqi, perubahan waktu terasa jauh lebih nyata setiap kali dia berada di New York. Semuanya selalu tergambar jelas di depan mata. Mulai dari dedaunan yang berubah warna dan jatuh berguguran, hingga salju yang melayang ringan dan mencair perlahan.

Oke. Waktu memang terus bergerak maju, tapi entah kenapa Rafisqi merasa sebagian kepingan ingatannya justru membeku di titik-titik tertentu.

Beberapa di antaranya ada di bulan Maret.

Padahal Maret adalah masa-masanya New York menghangat dihiasi bunga bermekaran, tapi untuk Rafisqi bulan itu ibarat gerbang pembuka dari nostalgia beruntun yang tidak diinginkan. Dia tidak bisa melihat kalender tanpa harus diingatkan kembali tentang semua yang pernah terjadi di tanggal yang sama, tepat setahun yang lalu. Seandainya bisa, ingin rasanya dia melompati waktu langsung ke bulan Agustus.

"Fiqi! Semalam nggak tidur?"

Di layar laptop tampak Syila tengah memperhatikannya seksama dengan kening berkerut samar. Sebelah tangan Rafisqi refleks menyentuh rambut, berusaha merapikannya dengan jari dan berharap penampilannya jadi terlihat sedikit tertolong. Namun, Syila malah menghela napas pelan.

"Mata panda." Syila menunjuk matanya sendiri dan melipat tangannya di atas meja. "Ada apa?"

"Bukan apa-apa."

Syila terlihat tidak mempercayai jawabannya. Rafisqi lupa kalau kakaknya yang satu itu akan tetap bisa membaca tindak-tanduknya meski hanya bermodalkan video call dengan resolusi gambar yang sangat standar.

"Eh, Qis." Syila tiba-tiba memutar tubuh menghadap Balqis yang kebetulan lewat di belakangnya. "Sekarang tanggal berapa?"

Balqis melongokkan kepala ke samping, kemungkinan tengah mengamati kalender terdekat. "15 Maret." Setelah mengatakan itu, Balqis ikut-ikutan melihat ke arah kamera, tersenyum lembut, dan mengepalkan tangan kanannya. "Semangat, Fiqi!"

Sementara itu, Syila hanya ber-oh pelan dan mengangguk-angguk. Begitu kembali menghadap layar, dia beralih menanyakan sesuatu yang sama sekali berbeda.

"Sudah sarapan?"

Rafisqi berterima kasih pada keputusan Syila untuk tidak mengungkit tentang tanggal 15 Maret. Pertunangan nahas setahun yang lalu memang bukanlah hal yang layak untuk dikenang, apalagi dirayakan.

Setidaknya begitulah cara Rafisqi menyugesti pikirannya sendiri, walau ujung-ujungnya selalu gagal total.

Dia tidak bisa lupa tanggal pertunangannya. Sama seperti dia tidak bisa melupakan tanggal ulang tahun Naura di akhir bulan nanti.

Seandainya Rafisqi bisa jadi seperti pria pada umumnya, yang konon katanya, sangat mudah melupakan tanggal-tanggal penting.

"Sudah," jawab Rafisqi. "Ngomong-ngomong, yang lain mana?"

Hari ini bertepatan dengan acara kumpul-kumpul bulanannya keluarga Mavendra. Sejak tadi Rafisqi terus mendengar suara-suara heboh di latar belakang, tapi yang muncul di panggilan video baru Syila dan Balqis. Tepat setelah dia menanyakan itu, Dharma muncul di layar. Dipangkuannya ada Rosy, yang juga sedang memangku Raisa. Kucing oren itu terlihat semakin gembul saja dibanding saat terakhir Rafisqi melihatnya.

"Halo, Rosy. Wah, Raisa makin makmur!"

"Emon, Om! Emon!" protes Rosy sambil memasang tampang memberengut. "Oh ya, Dorami mana?"

Untuk pertama kalinya sejak hari berganti menjadi tanggal 15 Maret, Rafisqi tertawa.

"Namanya Al, tahu!"

[End] Perfectly ImperfectWhere stories live. Discover now