7. Final decision

13.9K 1.6K 108
                                    

⚠ Beware: angst chapter .-.

Maaf update-nya lama

Happy reading. Jangan lupa komen yaa. Di boom-comment juga gapapa. Aku ikhlas. Karena itu salah satu bahan bakarku buat nulis hohoho

***
.
.
.

Mimpi Rafisqi beberapa hari yang lalu benar-benar menjelma jadi kenyataaan. Ditambah lagi, dialah yang bertanggung jawab atas semua yang terjadi.

Masih teringat jelas olehnya. Naura yang terdorong ke arah jalan raya, lalu disaat yang bersamaan muncul sebuah mobil dari ujung jalan. Mobil tersebut memang tidak melaju dalam kecepatan tinggi seperti truk dalam mimpinya, tapi rasa horor ketika menyaksikan gadis itu tertabrak sepertinya sudah cukup untuk menghantuinya hingga berbulan-bulan ke depan.

Rafisqi menyatukan kedua tangannya yang kembali bergetar hebat.

Dialah yang tadi memukul Naufal, menyebabkan pria itu terdorong ke belakang dan ikut menyenggol Naura dalam prosesnya.

Apa yang sudah dia lakukan?

Pada akhirnya dia selalu mengulangi kesalahan yang sama. Bukankah masa lalu sudah cukup untuk dijadikan pelajaran? Bukankah mimpi itu cukup layak untuk dijadikan peringatan?

Dari dalam mobil, dipandanginya gedung rumah sakit di depannya. Sudah cukup Rafisqi membenci tempat itu dan sekarang dia diharuskan kembali untuk alasan yang sama seperti delapan tahun yang lalu. Di dalam sana, entah bagaimana keadaan gadis itu sekarang.

"Tata, tolong jangan bawa dia," gumamnya pelan, berharap kata-kata itu sampai ke seseorang yang sudah terlebih dahulu ada di alam sana. "Please."

Di mimpinya, Juwita meraih tangan Naura dan mengajaknya pergi menyeberangi jalan, tepat menuju truk yang melaju kencang.

Bagaimana kalau itu juga sebuah pertanda?

***

Rafisqi mengintip dari balik persimpangan koridor dan mendapati Naufal meninggalkan ruangan. Buru-buru dia berlari mendekat dan berdiri di depan pintu yang baru ditutup Naufal beberapa saat yang lalu.

Tadi Naufal tidak mengizinkannya mendekati UGD dan kali ini pun dia juga pasti tidak akan memperbolehkan Rafisqi memasuki ruang rawat inap adiknya.

Namun, keputusan sudah dibuat dan Rafisqi harus menyelesaikan semuanya sekarang juga.

Dengan jantung yang berdentum kencang, Rafisqi membuka pintu abu-abu itu perlahan. Tanpa suara, dia melangkah masuk. Dan pemandangan yang ada di depannya saat ini benar-benar menyakitinya dengan cara yang tidak bisa dijelaskan.

Naura ternyata masih belum sadarkan diri. Matanya terpejam dan napasnya teratur, tampak seperti orang yang tengah tertidur pulas. Perban putih meliliti kepala dan terlihat memar serta luka-luka di beberapa bagian tubuhnya.

Tapi syukurlah. Gadis itu tidak pergi.

"Maaf." Rafisqi berbisik lirih. Tangannya terulur perlahan, ingin menyentuh wajah Naura. Ketika ujung jarinya hanya tinggal berjarak beberapa senti, Rafisqi mengurungkan niat dan menarik tangannya kembali. "Aku tahu ini tidak termaafkan, tapi ... maafkan aku."

Rasa takut kehilangan telah membutakannya, membuatnya bersedia melakukan apa pun agar Naura tetap tinggal di sisinya. Dia tidak berhenti ketika ada kesempatan dan sekarang semuanya terlanjur seperti ini.

"Maaf aku membuatku ketakutan."

Bisa-bisanya terlintas di pikirannya untuk melalukan hal serendah itu. Berniat mengikat Naura dengan cara merusaknya ... Rafisqi sungguh malu pada diri sendiri. Dia sudah memojokkan dan menekan Naura terlalu jauh, hingga ke titik gadis itu tidak terlihat keberatan untuk langsung melompat dari lantai delapan.

[End] Perfectly ImperfectWhere stories live. Discover now