4. Change of heart

15.6K 1.6K 98
                                    

Ternyata sudah delapan tahun berlalu tanpa sekali pun Rafisqi menginjakkan kaki di sana. Bangunan luas dengan aroma karbol dan alkohol itu ternyata masih begitu-begitu saja, di belahan dunia mana pun tempatnya didirikan. Koridor panjang dengan lantai marmer bersih mengkilap, orang-orang berseragam putih yang hilir-mudik kesana kemari, aura mencekam yang menggantung di langit-langit, dan kesuraman yang terasa sangat menyesakkan dada. Di kejauhan samar-samar terdengar suara sirine ambulans, dan pada saat yang sama, dari arah berlawanan lewat sebuah brangkar yang didorong oleh beberapa orang berpakaian perawat.

"Tekanan darahnya menurun drastis!"

"Dokter Safira sedang dalam perjalanan!"

"Keluarganya sudah dihubungi?"

Langkah Rafisqi sontak terhenti, sementara di balik punggungnya, rombongan itu berlalu dengan cepat. Betapa Rafisqi berharap dia tidak pernah mendengar obrolan barusan. Tanpa itu pun, semua sudah terasa terlalu familier, lebih dari yang bisa ditanggungnya. Ini bahkan bukan tempat yang sama, tapi segala kemiripan tersebut berhasil membuat perutnya bergejolak dan kepalanya pusing mendadak.

Kenapa malah sekarang? Padahal tadi waktu masuk dia baik-baik saja.

"Rafisqi!"

Suara itu membuat Rafisqi menjauhkan tangan kanannya dari pelipis. Dia mengangkat kepala yang sedari tadi tertunduk dan mendapati Naura, dalam balutan seragam putih yang sama dengan orang-orang tadi, berdiri di depannya sambil memasang tampang bingung.

"Kenapa berhenti di sini? Dari tadi kupanggil. Masa' enggak dengar?"

Ditanyai begitu, Rafisqi jadi tidak tahu harus menjawab apa dan sebagai gantinya dia malah memandangi gadis di hadapannya lekat-lekat.

It sounds weird, tapi rasa pusing dan mualnya mendadak berkurang begitu dia teringat lagi tujuan awalnya berada di sana.

"Ayo." Naura menutup mulutnya dengan tangan dan menguap sekali. "Aku mau cepat-cepat sampai apartemen."

Namun, bukannya langsung mengikuti Naura, Rafisqi malah tetap bergeming di tempatnya. Tindakan yang salah, karena dia langsung mendapat amukan Naura beberapa detik setelahnya.

"Astaga!" Naura yang tadinya sudah berada cukup jauh di depan, kembali berbalik. "Kayak orang baru pertama kali ke rumah sakit, tahu nggak? Ayo!"

Rafisqi tidak menyangka Naura malah menarik ujung lengan kemejanya untuk membuatnya beranjak dari sana. Di depannya, gadis itu kembali misuh-misuh, tentang betapa mengantuknya dia dan sekali lagi menegaskan kalau dia tidak pernah minta dijemput sejak awal. Namun, alih-alih menanggapi Naura, Rafisqi malah memandangi tangan kirinya. Tiba-tiba saja dia merasa geli sendiri.

"Padahal kalau mau pegang tanganku juga nggak apa-apa."

Anehnya Rafisqi memang bersungguh-sungguh saat mengatakannya, bukan dengan tujuan membuat Naura kesal seperti biasa.

"Itu sih maumu!" Naura melepaskan tangannya sedetik kemudian. "Jangan cari-cari kesempatan!"

Belum sempat Rafisqi memberikan tanggapan, gadis itu sudah kembali berjalan duluan, kali ini dengan sedikit menghentak-hentakkan kaki sambil melanjutkan gerutuan yang sebelumnya sempat tertunda.

Rafisqi tersenyum tanpa sadar.

Ini pertama kalinya dia memasuki rumah sakit setelah delapan tahun berlalu. Dia benci tempat yang selalu memancing kenangan buruk itu. Bahkan sakit yang paling parah sekali pun tidak pernah berhasil membuatnya berubah pikiran.

Dan sekarang dia malah menginjakkan kaki di tempat tersebut secara sukarela.

***

[End] Perfectly ImperfectWhere stories live. Discover now