4. Bima, Santi, dan Anak Kembar

407 100 17
                                    

"Gimana minggu pertama sekolah di Jakarta? Enak, kan?" tanya gue ke Santi.

"Sama aja, hehe," jawab Santi singkat.

"Beda dong, di Bali emang bisa jajan Cilok?" tanya gue spontan, melihat Santi sedang asik memakan sebungkus cilok yang ada di tangannya.

"Di Bali ada cilok tau, cuma namanya aja yang beda. Di sana bilangnya pentol,"

"Loh, emangnya itu cilok habis digigit nyamuk?"

"Hah? Masudnya, Bim?"

"Iya, itu buktinya pentol-pentol ciloknya,"

"ITU BENTOL, BIMA!"

Jam istirahat kali ini, gue habiskan bersama Santi di kantin. Gue minum Pop Ice rasa permen karet, dan Santi asik menyantap ciloknya. Gue agak sedikit shock sebenarnya, karena gadis dengan wajah bule kayak Santi ternyata doyan juga makan cilok.

Oh iya, gue nemenin Santi gak ada maksud modus dan sebagainya kok, gue cuma kasihan karena Santi belom punya teman cewek yang akrab. Sebenarnya ada sih, teman cewek yang dekat sama Santi, namanya Enji. Tapi dia lagi asik di perpus sekarang. Lagian punya teman Santi tuh enak juga, seenggaknya gue sekarang gak dikira maho lagi. Karena biasanya gue kan selalu sama Andra mulu ke mana-mana.

"Eh iya, ceritain dong, lo kenapa pindah ke Jakarta?" ucap gue, kembali membuka obrolan yang sempat hening.

"Papaku pindah dinas kerja, Bim," ujar Santi mulai bercerita.

"Ehem, 'gue' Santi, bukan 'aku' lagi,"

"Gak bisa Bima, kalo aku ngomong pake 'gue-lo' jadi kayak Robot nadanya,"

"Emang robot ngomongnya pake 'gue-lo,' yak?"

"Ih, bukan gitu, Bima! Ini aku boleh lanjut cerita gak, sih?"

Gue hanya diam, gak menjawab rengekan Santi. Bukan bermasuk sok cool, tapi gue lagi asik menyeruput Pop Ice gue yang sisa setengah. Dan sebagai tanda 'oke,' gue menganggukan kepala 2 kali.

"Jadi, gara-gara Papa pindah ke sini, aku sama adik aku juga harus ikut pindah, hehe," lanjut Santi bercerita.

"Adik?" tanya gue.

"Iya, aku punya adik cewek, dia juga sekolah di sini loh,"

"Masa sih? Kok gak pernah tau,"

"Iya iyalah gak tau, kan dia gak sekelas sama kita,"

"Ya juga sih, kalo sekelas bukan adik namanya,"

"Bisa aja sih sebenarnya, adik kembar? Kan sama-sama adik juga?"

"Gak gitu dong konsep anak kembar, Santi,"

Ketika gue lagi berdebat dengan Santi, tiba-tiba ada segerombolan cewek ngeliatin kita dengan tatapan aneh. Dan ternyata, mereka adalah teman sekelas gue di 11 IPS 3. Sebenarnya gue gak kaget dengan tatapan seperti itu, karena gue udah terbiasa ditatap 'aneh' sama para cewek-cewek di sekolah. Tapi kali ini, tatapannya beda banget. Dan benar saja, setelah mereka lewat depan kita, tiba-tiba ada celetukan,

"Astaga Bima-Santi, gak nyangka loh kita. Kalian baru kenal kurang dari seminggu, tapi udah ngomongin mau punya anak kembar aja,"

"Tau nih Bima, sekolah aja dulu yang bener, terus jadi orang sukses. Baru deh mikirin punya anak kembar, mau kembar dua puluh juga, terserah dah!"

Astaga! Tuhan, gue punya teman sekelas kok mulutnya pada lemes-lemes banget sih, pedes banget tuh mulut kayak Makroni Ngehe Lvl. 10! batin gue kesal, sambil gigitin sedotan Pop Ice yang udah habis.

"Hehe, anak-anak di Jakarta tuh asik, ya. Bercandanya seru gitu," ucap Santi sumringah.

"Ssstt, nyebutnya 'teman-teman' aja, jangan 'anak-anak' yak," bisik gue dengan pelan.

"Soalnya kalo bilang anak-anak, nanti dikira itu anak-anak kita? Gitu, kan?" kata Santi dengan girang.

"Iya bener, padahal kan anak kita—"

"UHUK, MASIH AJA BAHAS SOAL ANAK-ANAK, NIH! GEMES DEH KALIAN BERDUA!"

Ya benar, itu masih suara dari segerombolan teman kelas gue yang tadi gue bilang mulutnya pedes kayak Makroni Ngehe lvl 10.

Sial.

Sial.

Sial.

Pasti obrolan gue dan Santi tadi bakal menyebar luas deh, gue yakin, karena gue kenal banget tiga cewek ini bukan hanya pedes mulutnya, tapi juga biang gosip di 11 IPS 3.

***

"Bim, gue kangen sama lo," ucap Andra pelan.

"Apaansih, kan kita duduknya cuma depan-belakang,"

"Iya sih, tapi gue gak tahan duduk sama Enji, bawel banget dia,"

"Eh, lo ngomongin gue, Ndra? Siapa yang lo bilang bawel barusan? Wajar kali gue bawel, gue akan anaknya cant—"

Ocehan Enji terhenti, dengan satu tangan Andra menutup mulut Enji sekarang. Ya, ini dia tadi orang yang gue ceritain pas di kantin, namanya Enji. Dia siswi bertubuh paling mungil, tapi paling bawel dan berisik banget di kelas. Dulunya dia duduk sendirian mulu, karena gak ada yang mau sama dia. Gue pikir Santi yang akan duduk sama Enji, eh malah Andra yang dipindahin ke depan. Yaudah lah, berarti itu rezeki Andra, haha.

"Bim, tukeran yuk," ujar Bima pelan.

"Lo mau duduk sama gue lagi, Ndra?" tanya gue.

"Gak juga sih. Kalo boleh milih, gue mending pilih Santi dan lo sama Enji, gitu,"

"Kenapa sih lo gak bersyukur banget dapet teman sebangku yang cute dan gemooy kayak gue gini?"

"Kalian berdua lucu deh. Serasi, hehee,"

"..................." Andra dan Enji sama-sama saling tatap dan melotot.

Sehabis itu percakapan kita dibuyarkan dengan kehadiran Bu Ningsih. Ya, guru matematika sekaligus wali kelas 11 IPS 3. Oh iya, dia adalah salah satu alasan Andra takut untuk pindah duduk sama gue lagi. Karena memang dia gak suka banget kalo gue dan Andra duduk bareng. Maklum lah, kalo gue dan Andra udah duduk bareng, bisa ditebak 90% cekikikan dan 10% beneran belajarnya. Jadi wajar sih, kalo Bu Ningsih, maksa banget gue tetap duduk sama Santi dan Andra sama Enji, gitu.

Oh iya, gue juga merasa gak menyesal Andra 'dituker' sama Santi, karena dia ini anaknya pinter banget. Bahkan, Santi juga cerita kalo dari SD – SMA dia gak pernah absen masuk ranking 3 besar. Beda banget sama Andra, yang selalu 3 besar dari bawah.

"Eh iya Bima, aku kan belom milih ekskul nih. Besok temenin aku daftar ekskul yuk," ajak Santi.

"Emang lo mau ikut ekskul apa? Kalo liat dari postur lo, pasti basket, ya?" tebak gue dengan yakin.

"Aku gak bisa basket Bima, hehe,"

"Kirain bisa, berarti lo kalah sama Enji. Biarpun dia cebol, tapi dia jago main bas—"

Tanpa aba-aba, tiba-tiba Enji menghadap belakang dan memasang ekspresi mengancam. Gue tau, dia lagi gak bisa ngomel, karena kalo dia ngomel sekarang, bisa kena amuk dia sama Bu Ningsih.

"Aku mau ikut ekskul musik, Bima," ucap Santi.

"Oalah, paduan suara toh," tebak gue.

"Bukan Bima, hehe,"

"Terus apa dong?"

"Band. Aku mau ikut ekskul Band, Bima, hehee,"

Hah? Serius ini sih Santi mau ikut ekskul Band? Karena dari penampilannya gue gak yakin dia tuh anak Band. Secara Santi tuh kan anaknya, tinggi, putih, manis, lembut.... Eh, kenapa, gue jadi muji-muji Santi gini, sih? Maksud gue tuh, kalo anak Band kan identik dengan sangar dan jiwa rock n roll, gitu. Nah, kalo Santi tuh gak gitu, berbanding jauh pokoknya sama sosok seorang Kadek Ayu Santi, deh.


Next lagi, atau gimana nih ???

Cukup 4 part dulu aja kali, yak? Atau, mau lanjut part 5, nih? Hehehe.

Galaksi Bima Santi (ON GOING)Where stories live. Discover now