13. Cemburu?

98 29 1
                                    

"Kalian mau ke mana, sih? Gue ikut..." ucap gue merengek ke Andra dan Enji.

"Udah, lo di sini aja temenin, Santi," ucap Andra.

"Iya ih, lagian rumah lo tuh dekat banget sama Santi," tambah Enji.

Tiba-tiba saja, Andra dan Enji kompakan untuk buru-buru pulang. Dengan kompak pula, mereka mendorong tubuh gue sampe terjatuh ke sofa.

Nggak lama dari drama itu, Santi keluar membawa segelas minuman dingin berwarna hijau. Padahal, secara visual itu minuman yang segar banget, tapi gak tau kenapa, gue merasa gerah tiba-tiba. Entah lah.

"Eh, kalian mau ke mana, Ndra, Nji?" tanya Santi bingung.

"Gini, kita ada urusan dadakan Santi, jadi kita pulang duluan, ya" ucap Andra.

"Iya bener, tapi tenang, Bima bakal nemenin lo sampe sore di sini, kok. Iya kan, Bim?" tambah Enji.

"Hah? Apaan? Gue kan...." ucap gue, tapi belum selesai kalimat itu, Andra langsung memotong.

"Udah Bim, udah, gak usah pura-pura gak tau gitu, deh, hehehe," kata Andra tanpa rasa bersalah.

"Yaudah Santi, kita pamit pulang, ya. Lekas sembuh yaa, bestie..." ucap Enji sambil memeluk Santi, dan kemudian berpamitan pulang.

Tanpa menunggu lama, Andra dan Enji pun beneran menghilang dari hadapan gue, Santi, dan kakak kelas menyebalkan, yang gue males untuk menyebut namanya.

"Eh, maaf banget, aku harus ke dalem. Aku mau cuci piring bentar," izin Santi.

"Santi, perlu aku bantu, gak? Kan kamu lagi sakit," ucap Boy sok-sokan menawarkan bantuan.

"Nggak usah Kak Boy, aku bisa sendiri kok, hehee. Aku tinggal bentar, ya,"

Apaansih, caper banget. Biasa aja kali jadi cowo, ganjen bener sih, batin gue menggerutu kesal.

Seketika, suasana menjadi hening beberapa saat. AC rumah Santi yang tadinya terasa dingin, tiba-tiba seolah rusak dan gak berfungsi.

Beberapa kali, gue menyadari, kalau Boy melemparkan tatapan sinis ke gue. Tanpa rasa takut, gue pun menatap balik dia. Tentu saja, dengan melemparkan tatapan yang gak kalah sinis juga.

Kalian tahu, petinju yang saling tatap sebelum memulai pertandingan di atas ring? Ya, begitulah gambaran gue dan si Boy sekarang.

Tatapan kami pun semakin tajam dan intens, hingga...

"Ngapain lo ada di sini?" itulah kalimat yang keluar secara bersamaan dari mulut kami berdua. Sungguh aneh, tapi ini nyata adanya.

Setelah kalimat itu, gue dan Boy kembali bertatapan dengan intens. Gue bisa melihat jelas bola mata Boy yang indah, berwarna biru khas cowok blasteran Indo - Eropa. Ditambah, ada sedikit kumis tipis yang membuat dia terlihat semakin mempesona. Pantas saja, banyak cewek yang kehipnotis dengan ketampanan si Boy.

Tunggu-tunggu, kenapa gue jadi muji-muji si Boy gini, sih? Wah, udah nggak bener ini namanya.

"Gue tanya sekali lagi, ngapain lo di sini?" ucap Boy setengah menggertak.

"Lo buta apa? Ya, gue ke sini jenguk Santi, lah. Lagian, gue kan emang temen sekelasnya. Bahkan, temen sebangku nya. Emangnya lo..." kata gue sewot.

"Oh, gitu? Lah, gue juga punya alasan kali ke sini. Gue tuh kakak pembimbing dia di ekskul musik," jawabnya menjelaskan.

"Kasian, cuma dianggap kakak," cibir gue.

"Lah, daripada lo, cuma dianggep temen," ucap Boy gak mau kalah.

Setelah debat kusir yang cukup sengit, tiba-tiba aja Santi keluar dari dapur dan menuju ke arah ruang tamu.

Seketika raut wajah Boy berubah 180 derajat. Berubah menjadi ramah dan full senyum. Apa-apaaan ini, bisa-bisanya dia mendadak jadi aktor FTV, gitu.

"Oh jadi gitu Bim,.. gue baru tau, kalo lo tuh ternyata suka musik juga," ucap Boy tiba-tiba saja, sambil menepuk bahu gue dengan sok asik.

"Hah? Apaan?" tanya gue bingung.

"Itu loh, yang tadi kita obrolin pas Santi lagi di belakang," kata Boy lagi, yang semakin bikin gue jadi bingung.

"Ih, seneng deh, kalian bisa langsung akrab begini," ucap Santi sambil melemparkan senyuman ke arah gue dan Boy.

"Harus dong. Sebagai ketua ekskul dan kakak kelas yang baik, udah tugas aku buat ngerangkul semua orang, hehe,"

"Emang keren banget deh, kakak aku yang satu ini, hehe."

Sial. Ternyata oh ternyata... Si kampret ini, bisa banget buat cari muka di depan Santi.

Gak lama berselang, tiba-tiba saja Boy merogoh saku tas ranselnya. Seolah, ada sesuatu yang mau ia ambil dari dalam tas. Dan benar saja, dia mengeluarkan boquet bunga dan beberapa kotak cokelat. Lebih tepatnya, cokelat dengan kemasan yang terlihat sangat mahal dan premium.

Oh iya, bunganya pun sama, jelas ini bukan bunga murah yang sering gue temuin di tukang bunga pinggir jalan. Wanginya benar-benar sudah menjelaskan, kalau ini pasti bunga yang harganya mahal banget.

"Santi, ini aku bawain kamu bunga. Oh iya, sama ada sedikit cokelat Belgia nih, kemarin Papa aku lagi di dinas ke sana, hehe," ucap Boy seraya memberikan hadiah itu ke Santi.

"Wah, makasih Kak Boy! Duh, ngerepotin banget," terlihat Santi sangat sumringah sekali, saat menerima hadiah dari Boy.

"Gapapa Santi, kan kamu lagi sakit. Buat kamu apa sih yang nggak, hehe," jawab Boy sok keren.

"Papa lo temennya Eden Hazard?" cibir gue.

Buat yang gak tahu, Eden Hazard itu mantan pemain Chelsea, dan sekarang main di Real Madrid.

"Kenapa? Lo mau juga cokelat Belgia?" sindir Boy.

"Bima mau juga cokelatnya?" tanya Santi dengan polosnya.

"GAK!" elak gue dengan kesal.

Entah kenapa, mendadak gue merasa kerdil dan minder, ketika melihat Boy memberikan hadiah yang sangat "WAH" ke Santi. Berbanding terbalik dengan gue, yang cuma bisa ngasih bingkisan seadanya. Ya, gue sadar diri sih, gue memang orang biasa-biasa aja.

Santi pun kelihatan sumringah banget, waktu Boy ngasih hadiah-hadiah mahal itu. Rasanya, berbanding terbalik dengan reaksinya tadi, saat gue, Andra, dan Enji datang. Apa emang cowok kampret ini, begitu spesial buat Santi, ya?

Galaksi Bima Santi (ON GOING)Onde as histórias ganham vida. Descobre agora