14. Berjumpa Lagi

121 28 4
                                    

2 hari setelah momen menjenguk Santi.

Hari ini, akhirnya bangku gue udah gak kosong lagi. Ya, hari ini Santi masuk.
Walaupun gue tahu, dia belum sembuh total sih. Kelihatan dari mukanya yang masih agak pucat dan, capek?

"Haloo Bim..." ucap Santi sesaat setelah duduk dan menaruh tasnya.

"Halo. Akhirnya, masuk juga," jawab gue.

"Kenapa? Kangen, ya? Hehe," tanya Santi meledek.

"A...aa, ng-gaak... biasa aja" jawab gue dengan sedikit blepotan.

"Kalo gak kangen, kok ngomongnya gugup, gitu," ledek Santi lagi.

"Gak gugup, biasa aja. Jangan sotoy deh," ucap gue menyembunyikan salah tingkah.

Obrolan gue dan Santi sempat terhenti beberapa saat, bersamaan dengan Santi yang baru saja duduk di bangkunya. Tak lama, ia pun mengeluarkan buku pelajaran hari ini.

"Oh iya, katanya mau masuk kemarin? Kok jadi hari ini?" tanya gue penasaran.

Iya, pada hari menjenguk Santi di rumahnya, malemnya gue beranikan diri untuk chat Santi. Menanyakan kondisinya dan kapan dia akan masuk sekolah lagi.

Dan seharusnya, kemarin sih dia sudah masuk sekolah. Tapi anehnya, kemarin dia justru gak masuk. Dan tanpa ada kabar sama sekali ke gue, Andra, atau Enji.

"Bim... kemarin aku bolos, tau," bisik Santi pelan.

"Hah? Gimana, gimana?" tanya gue bingung.

"Iya, kemarin aku bolos, diajak ke Dufan sama Kak Boy. Seru deh, hehe," ucap Santi lagi sambil tertawa kecil.

"HAH? BOLOS?! SAMA BOY?!" ucap gue dengan kaget dan heboh.

"SSSTTT..."

Tiba-tiba saja, jari telunjuk Santi sudah berada di bibir gue sekarang. Pertanda kalau gue disuruh diam sama dia.

Dugh... Duugh... Duuugh...

Bukan, itu bukan suara langkah kaki, melainkan detak jantuk gue yang berdenyut cepat sekali. Entah, kenapa.

"Ish, Bima jangan kencang-kencang, ih," ujar Santi.

"Kenapa harus bolos sih, San? Kan lo masih sakit," tanya gue gak habis pikir.

"Aku udah sembuh kok, Bima..."

"Boong. Mana coba sini,"

Gue menarik Santi agar mendekat ke arah gue. Dan gue langsung meletakkan tangan gue ke jidatnya. Dan benar aja, badan Santi masih demam.

"Tuh kan, coba kemarin gak main, pasti sekarang udah sembuh, nih. Emang anjir banget si Boy!"

"Tapi... kemarin tuh seru banget, Bim. Aku tuh juga butuh udara segar, bosen tau di rumah mulu," bela Santi lagi.

"Serah deh..."

"Ih, kok malah ngambek sih, Bim,"

Jujur, gue kecewa sama sikap Santi, bisa-bisanya dia bohong sama gue.
Dan lebih parahnya, bisa-bisanya dia malah pilih bolos dan pergi main sama orang gak jelas yang baru dia kenal. Padahal, gue tau, Santi itu paling anti gak masuk, kecuali urgent banget, kayak pas sakit kemarin.

Saat ini, gue dan Santi hanya diam-diaman saja. Hening. Tanpa suara. Seolah kita tak pernah saling kenal satu sama lain. Namun, dari sudut mata gue, terlihat kalau Santi lagi memainkan pulpen di tangannya. Tanda kalau dia gelisah dan merasa gak nyaman.

"Bima..." panggil Santi.

"Euhm..." jawab gue seadanya.

"Maaf," ucap Santi dengan lembut.

"Apa?"

"Maaf, kalo aku udah boong dan bandel kemarin. Janji, gak gitu lagi deh,"

Gue masih tak bergeming dan berusaha untuk tetap konsisten mengabaikan Santi. Namun, dia gak menyerah begitu saja. Beberapa kali dia coba menggoyang-goyangkan lengan gue pelan. Gue masih bodo amat dan gak menggubris dia.

Sampai di titik dimana, Santi menarik badan gue dan membuat pandangan gue kini tepat mengarah ke arah wajah Santi.

"Bim, pleaseeee... maafin aku yaaa"

Ah, sial, Santi lagi-lagi mengeluarkan jurusan andalannya, yaitu tatapan mata mautnya. Jurus yang sangat sulit untuk gue lawan atau hindarin.

Meskipun, sedikit nervous dengan tatapan Santi itu, gue mencoba untuk stay cool dan biasa aja.

"Iya, yaudah dimaafin. Tapi jangan diulangin lagi, yak," ujar gue.

"Asik... Nah, ini baru Bima yang aku kenal," jawab Santi girang.

"Emang dari tadi, itu bukan gue?"

"Bukan. Bima yang tadi galak, aku gak suka tau,"

Uhuuk... uhuuuk...

Gak berselang lama, tiba-tiba terdengar suara batuk yang cukup keras dari Santi.

"Kenapa?" tanya gue.

"Batuk lah, masa lagi kerja bakti. Ngeselin nanyanya," jawab Santi sewot.

"Maksudnya, kenapa bisa batuk?"

"Kayaknya, gara-gara kemarin di Dufan kebanyakan makan chiki sama cokelat, deh, hehe."

"Kok makan chiki, sih?"

"Aku dikasih Kak Boy kemarin, katanya oleh-oleh dari Jepang. Dan enak banget, hehe,"

"Sekarang udah habis chikinya?"

"Masih ada 1 sih, kebetulan aku bawa,"

"Keluarin... Sekarang."

Dengan agak ragu, Santi pun mengeluarkan 1 bungkus chiki dari dalam tasnya. Chiki yang gue gak tau merknya apa, karena ditulis dengan huruf Jepang.

Hmm, memang benar sih, cuma 1 bungkus doang, tapi ukurannya gede banget. Gila! Pantes aja, Santi dari tadi batuk-batuk mulu.

Selain chiki, masih ada beberapa cokelat juga yang Santi keluarin juga dari tasnya. Baru beberapa saat ditaruh di atas meja, gue langsung 'merampas' chiki dan cokelat itu. Kelihatan muka Santi langsung kaget banget.

Gue berjalan ke arah depan, di mana lagi banyak kerumunan murid berkumpul di sana.

"GUYS! ORTU GUE KEMARIN ABIS DARI JEPANG. NIH, ADA OLEH-OLEH BUAT KALIAN. ABISIN YAK!" ucap gue setengah berteriak biar Santi juga dengar.

Gak perlu waktu lama, chiki dan cokelat yang gue kasih langsung diserbu sama anak-anak di kelas gue.

"Bim ih, kok dikasih mereka sih? Kan aku bisa makan kalau udah sembuh,"

"Gak usah. Nanti gue beliin yang baru,"

"Tapi kan itu belinya di Jepang, Bim,"

"Gampang. Di Shopee, banyak ada jastip jajanan Jepang."

Santi kalah kali ini, dia hanya bisa diam sambil melipat tangannya di atas meja. Lengkap dengan bibir manyunnya. Seolah kode, kalau dia lagi bete sama gue. Dia pikir, dia seram? Gak! Yang ada malah lucu, atau bahkan, gemesin?

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jul 09, 2022 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Galaksi Bima Santi (ON GOING)Where stories live. Discover now