AB 8: Mei Pertama (2) 🗒

63 24 2
                                    

Malam semakin pekat, tersisa tatap yang malu-malu

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Malam semakin pekat, tersisa tatap yang malu-malu. Beberapa pasang mata menunjukkan ketertarikannya padaku,“Untunglah Bara tidak terlibat kondisi ini.” Kini malam semakin larut dan tubuh meronta agar dapat segera beristirahat. Hanya terselip tanya,”Apa yang akan aku lakukan besok?”

“Lagi dimana?” Tanya Bara dalam pesannya.

“Masih di dalem. Emangnya kamu tadi dari mana?”

“Keluar bentar.”

“Huuu kamu enggak liat aku digodain.”

“Hahaha biarin.”

Pagi telah menyambut, tidak ada kabut yang membalut pagi ini. Sebuah pemandangan baru terhampar menaungi mataku. “Aku benar-benar pergi ke tempat baru.” Kalimat yang bergejolak sejak baru sampai semalam. Aku tidak menyangka akan melakukan perjalanan ini, kukira ini semua hanya mimpi dan pagi ini aku terbangun di kamar kosku lalu mengantri mandi untuk segera melangkahkan kaki menuju kampus. Menendang-nendang kerikil dan melewati jajaran pedagang nasi uduk yang kurasa memanggil-manggil meminta untuk disambangi.

“Dimana?” satu pesan menyapa.

“Baru mau berangkat.”

“Udah makan?”

“Ini lagi jalan, sekalian cari sarapan. Udah mandi?”

“Ini mau berangkat mandi.”

“Udah sarapan?”

“Gampang.”

“Ya udah sana mandi.”

“Siap komandan.”

Aku tidak menyangka jika Bara memiliki sifat pemalu, padahal dilihat dari cara berpakaian dan bertemannya ia terlihat sebagai orang asyik bagi kenalan baru. Tapi aku salah, beberapa sifat lainnya yang belum kutahu kutemui saat aku benar-benar menyadari temu. Mungkin hanya denganku, atau memang sejatinya begitu.

“Dimana?” sesampainya di tempat berlangsungnya acara aku melontarkan tanya.

“Di dalem sini.”

Aku menoleh, benar dia ada di sana. Dengan tatap yang berusaha biasa saja. Mencari-cari tanpa sadar kita saling menjadi pemerhati satu sama lain. Kemanapun langkahnya, mataku sengaja mengeja setiap tapakan kakinya. Sesekali kulepas, namun tidak sengaja kembali menoleh dan menerka-nerka keberadaannya.

“Dimana?” tanyaku kembali.

“Di depan nih, pintu masuk.”

“Tadi aku keluar ngangkat telpon dari bapak, lama. Jaringannya susah.”

“Lah, enggak bilang sini keluar lagi. Aku tunggu di sini.”

“Malu.”

“Enggak apa-apa sini, aku tunggu.”

Antah Berantah (Tentang Perasaan Kita yang (M)entah)Where stories live. Discover now