AB 20: Februari Kedua 🗒

16 1 0
                                    

Bulan ini merupakan bulan berdikari, memantapkan hati dari rasa yang berangsur pergi

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Bulan ini merupakan bulan berdikari, memantapkan hati dari rasa yang berangsur pergi. Membiasakan diri untuk tidak berusaha mengungkit-ungkit elegi. Pikiranku bergejolak dengan damai, tapi hati tidak dapat dibohongi.  Aku beruntung karena salah satu dari penawarku hadir di bulan ini. Tanpa disangka dan tidak terencana kubulatkan tekad dengan sedikit nekat. Berharap jerit-jerit dapat melepaskan segala sakit.

Kubuka ponsel lalu seperti biasa kulakukan hal-hal yang telah merepetisi, sembari mengisi waktu luang menyelami laman media sosial. Beberapa kali dering berbunyi, bukan pesan apalagi panggilan. Sebuah notifikasi bahwa penyimpanan internal telah melebihi kapasitasnya dan permohonan untuk mengurangi muatan.

Kucari-cari apa yang harus kukurangi, tidak kutemukan. Kuputuskan beberapa aplikasi dihapus dan memindahkan semua foto beserta video ke PC. Sepertinya ponselku sudah dapat bernapas lega seperti sediakala. Itung-itung persiapan menghadiri bedah buku yang tinggal beberapa hari lagi.

Bulan-bulan nekat, semoga setelah ini luka hati akan segera pergi bersama energi baru yang mengisi. Seperti kutipan salah satu tokoh,”Untuk apa patah hati jika tidak dapat mengubahnya menjadi royalti.” Yaps benar sekali, untuk apa? Menangisinya berhari-hari tidak akan membuatnya kembali. Jika suatu saat lagi aku menangis, maka aku akan menulis. Akan kutuangkan semua yang ada dalam pikiran.

Berharap yang telah terjadi hanyalah prank semata, nyatanya Bara bukanlah tipikal orang yang lucu. Jadi, mari patah hati sesekali untuk bahagia seterusnya. Sebenarnya memilih untuk menerima kenyatan lebih mudah, daripada harus bertahan hidup terus menerus dalam imajinasi meskipun itu terasa membahagiakan. Membahagiakan yang penuh kepalsuan.

Hari itu datang, aku pun datang. Tanpa pikir panjang hanya berbekal hati ini menjadi lebih tenang. Aku melayangkan tujuanku ke tempat dimana diadakan bedah buku, kukira akan ramai nyatanya sepi. Beberapa lama aku mematut diri dan mendapat kabar nomor urutan untuk sesi foto bersama hampir habis, fakta itu menamparku sadis. Semua  berjuang dengan caranya masing-masing.

“Kak mau registrasi di mana ya?” tanyaku pada salah satu petugas toko yang sedang berhampuran menunjukkan kesibukannya masing-masing.

“Oh, nanti ya kak jam 17:00.”

“Jadi belum ada yang daftar kak?”

“Iya kak.” Garis wajah yang sangat mencurigakan. Sama seperti orang-orang di sekitarku yang menujukkan raut wajah saling mengawasi satu sama lain. Kami sama-sama menaruh curiga.
Lalu aku mengajak Kezia menunggu di sekitaran meja resepsionis. Namun ia masih saja sibuk melihat-lihat cover buku. Kemudian ada seseorang yang mendatangi aku dan Kezia, kubiarkan Kezia yang menanggapinya, aku sedang tidak berselera bertanya selainpada petugas dan pemateri yang akan membedah buku nanti.

“Kakak mau ikutan acara ini juga ya?”

“Oh, iya. Kakak juga?”

“Iya kak, ini temannya?” tanyanya sambil memberikan tangannya padaku, namanya tidak terdengar suaranya terlalu samar di dalam bisingnya suara musik yang sedang diputar. Aku membalas jabatannya dengan tersenyum.

Antah Berantah (Tentang Perasaan Kita yang (M)entah)Where stories live. Discover now