AB 16: Oktober Pertama 🗒

5 1 0
                                    

❀❀❀❀❀❀❀❀

Rasa cemburu masih bersarang hebat, ditambah kesibukan Bara yang tiada duanya

Oops! Questa immagine non segue le nostre linee guida sui contenuti. Per continuare la pubblicazione, provare a rimuoverlo o caricare un altro.

Rasa cemburu masih bersarang hebat, ditambah kesibukan Bara yang tiada duanya. Aku hanya menjadi pengisi di saat harimu sepi, dan tidak ada lagi yang kamu kerjakan. Terasa menyedihkan dan aku selalu merasa ingin mengakhirinya saja. Namun Bara selalu menyangkal dan meyakinkan.

“Bar?”

Eh tumben ngirim pesan duluan.”

“Emangnya enggak boleh?”

“Boleh, galak amat.”

“Abisnya ngirim pesan duluan malah digituin sama kamu.”

“Iya enggak, uluh-uluh marah.”

Hmmm.”

“Ada apa Bin?”

“Enggak apa-apa.”

“Lagi apa?”

“Baru selesai beresan.”

“Rajin amat, tumben.”

Yeee tiap hari kali. Emang kamu lagi apa?”

“Biasa kerja nih.”

Oh, ya udah semangat.”

“Enggak apa-apa kalau mau chattingan, tapi slow respon ya.”

Oke Bar.”

“Udah makan kamunya?”

“Kamunya siapa?”

“Kamunya aku.”

Ceileh.”

“Malah ceileh, beneran ditanyain kok.”

“Udah, kamu?”

“Udahlah kalau belum ya enggak kuat nanti kerjanya.”

“Berapa piring?”

“Satu.”

“Sepiring-piringnya?”

“Dikira lagi debus kali.”

“Kuda lumping.”

“Ya udah ya Bar nanti lagi mau mandi.”

Oke.”

Sebenarnya aku ingin meyakinkan hatiku sendiri, tapi aku tidak tega dengan keadaan Bara saat ini. Waktunya belum tepat, ia butuh tempat agar dapat kembali bernapas bebas. Biarkan Bara menikmati harinya sendiri, di sini aku belajar bagaimana caranya menghargai.

Dia memang mencintaimu, tapi bukan berarti seluruh harinya berada di bawah kendalimu. Separuh hatinya kini memang milikmu, namun beberapa serpihan masih dirajai masa lalu, beberapa lainnya mungkin masih dimiliki keinginan yang belum sampai sebelum hadirnya dirimu.”

Bara punya kehidupannya sendiri, begitupun aku. Tidak semua yang ia lakukan harus kutahu, sebaliknya pun begitu. Kami memahami batasan itu meskipun kadang rasa ingin melampaui selalu hadir dengan sendirinya. Sebenarnya mendewasa bersama itu membahagiakan tanpa harus meluka terlebih dahulu untuk mengambil pelajaran.

“Bin kamu berubah.” Satu pesan menyapaku dengan nada kurang ramah.

“Berubah?”

“Iya, enggak kayak dulu.”

“Dulu gimana?”

“Ya dululah pokoknya.”

“Terus kamu sendiri ngerasa tetep sama?”

Tuh kan baru aja kirim pesan udah mau debat lagi.”

“Debat apa? Kan aku cuma tanya kalau kamu enggak mau bales juga enggak apa-apa kok, lagian biasanya juga kamu enggak mau bales.”

“Kapan sih aku enggak bales?”

“Janji kamu mau nyeritain aku tentang pendakian kamu waktu itu.”

“Ya ampun Bin, pendakian tu ya gitu-gitu aja loh.”

Oh iya gitu-gitu aja.”

“Tau kan?”

“Ya enggaklah, orang enggak pernah kok.”

“Ya kayak yang kamu bayanginlah pokoknya.”

Oh, daki cuma buat konten tanpa berlandaskan ilmunya, yang penting konten bagus dapet spot foto bagus, dikira keren?”

“Bin.”

Aku tidak membalasnya, kubiarkan Bara melanjutkan pesannya.

“Kamu tuh kenapa sih? Enggak perlu cemburu lagian di sini juga aku enggak ngapa-ngapain.”

“Ya.”

“Lagian kamu foto sama temen cowokmu juga aku enggak keberatan.”

Oh iya, terus siapa dulu yang tiba-tiba marah. Bukan kamu?”

“Katanya kamu mau cari yang paham keadaan kamu, bebasin kegiatan kamu, enggak ngekang. Ya udah aku mulai belajar begitu walaupun awalnya berat Bin, tapi ya aku tahan aku tahu kamu juga punya kehidupan di sana. Hari kamu enggak cuma buat aku.”

Oke deh.”

“Lagian aku juga enggak pernah foto berdua sama cewek, terus foto deket-deketan kayak kamu.”

“Yakin?”

“Mana buktinya?”

“Ya semoga ya.”

Hmmm terserah kamu deh. Aku enggak publish kamu juga bukan berarti aku enggak sayang kamu, cuma ya buat apa gitu lo di publish.”

“Iya-iya, terus ngapain kamu minta aku publish foto kamu. Biar temen aku liat, orang lain liat?”

“Ya kan beda Bin.”

“Aneh deh maunya menang sendiri, terserah kamu deh Bar sekarang. Kamu bebas deh, aku enggak bakal komen lagi. Urusin diri masing-masing aja, apaan banget ribetnya di aku doang.”

“Bin.”

“Bin.”

“Binar, kok marah lagi sih Bin.”

“Binar…”

“Bin, aku kangen.”

“Kangen banget sama kamu yang dulu.”

Apalagi aku Bar, aku juga kangen, cuma keadaannya terlalu sakit buat dilanjutin. Aku udah pasrah, kamu capek kan baca pesan aku yang ngomel mulu, kalau ditelpon cuma diem. Aku diem karena kau enggak tau apa lagi yang harus aku bahas sama kamu, rasanya apa yang aku bahas ujungnya malah bikin kesel sendiri dan kamu juga makin sebel sama sikap aku.

Situasi memang kadang tidak tahu diri. Mengadu domba perasaan yang belum kokoh hingga membuatnya roboh. Para pelaku hanya menuruti emosi tanpa saling intropeksi. Memilih mengakhiri dan menyesal di kemudian hari. Lalu tidak ada pilihan lain selain menghadapi, sekuat tenaga menjalani hari meski terbebani oleh hasrat ingin memperbaiki kembali.

“Bar kamu sayang aku? Bar kamu masih sayang aku? Bar apa kamu masih punya perasaan ke aku? Kok aku ngerasa kamu udah berubah ya? Bukan aku Bar yang berubah, tapi kamu yang merubah.”

Berusaha biasa saja, menikmati jeda yang diciptakan waktu untuk saling menjaga dan meyakini bahwa situasi ini dapat dilewati.

--------------------..----------------------

----------------------

Oops! Questa immagine non segue le nostre linee guida sui contenuti. Per continuare la pubblicazione, provare a rimuoverlo o caricare un altro.


Antah Berantah (Tentang Perasaan Kita yang (M)entah)Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora