Emosional

574 118 0
                                    

!!!
Terimakasih untuk kalian yang masih mau baca sampai part ini. Tapi please banget jangan jadi sider, voment kalian adalah penyemangat aku. So jangan lupa untuk tinggalkan jejak kalian.

Terimakasih

~Peenaa~
!!!



















Menjelang pengambilan rapor, gue benar-benar gak tenang. Sebab di ujian akhir semester kemarin gue banyak remed, dan nilai gue juga banyak yang turun. Papah pasti marah, gue takut Mamah dan Papah akan berantem lagi. Saat gue ke sekolah sama Mamah untuk pengambilan rapor, peringkat gue turun. Gak masalah bagi gue, tapi jelas ini akan jadi masalah buat Papa. Yang bikin gue gelisah sampai gak mau pulang itu Papah.

Kalau ketemu Papa hari ini pasti bakal habis dimarahin akibat peringkat gue yang turun drastis dari satu ke lima. Sedangkan Rangga naik jadi peringkat pertama, Delvin peringkat dua, Jihan naik peringkat tiga, Hasna peringkat empat dan gue yang kelimanya. Haris, Gilang dan Anna yang sebelumnya gak pernah turun dari lima besar kini posisinya ikut bergeser, parahnya Anna gak masuk sepuluh besar kali ini. Benar, gue kalah kali ini dan mereka berhasil menjatuhkan gue.

Sekarang wajah mereka terlihat sangat berbinar cerah. Berbanding terbalik dengan gue yang kayak awan mendung. Bahkan gue sempat lihat mereka saling melakukan high five.

"Mamah." Gue merengek ke Mamah saat kami sampai di lapangan parkir hendak naik mobil untuk pulang.

"Hei, kenapa muka kamu gitu?"

Gue diam, menunduk lesu. Mamah mengangkat dagu gue membuat gue mendangak, menatap Mamah dengan bibir manyun.

"Takut papah marah ya? Gak usah dipikirin, Sayang, biar Mamah yang urus Papah nanti. Ini kan weekend, main sama teman-teman kamu sana."

"Boleh, Mah?"

"Boleh dong." Mamah tersenyum membuat gue menghambur kepelukanya.

"Makasih, Mah."

"Sama-sama, Sayang."

Gue melepas pelukan, lalu Mamah pun memasuki mobil. Tak lama kemudian mobil melaju meninggalkan lapangan parkir sekolah. Gue menghela napas, setidaknya punya waktu untuk menyiapkan diri sebelum ketemu Papah di rumah. Jadi,bnanti kalau gue pulang dan diomelin Papah, gak kaget lagi.

Gue menghela napas lagi lalu melangkah meninggalkan lapangan parkir. Pergu ke fantastic kafe. Ah, gue kangen taro milkshake di sana. Gue melenggang memasuki kafe, udara sejuk kafe langsung menyambut. Setelah memesan minuman seperti biasa, gue memilih tempat duduk di pojok dekat jendela, spot favorit gue. Sembari menunggu pesanan datang, gue meletakan kepala di atas meja, dengan telinga kanan menempel pada meja. Gak lama kemudian seseorang meletakan segelas taro milkshake di atas meja, membuat gue mendangak dan mendapati Bang Tama yang meletakan gelas itu.

Terdengar suara decitan kursi yang digeser, Bang Tama duduk di samping gue. Matanya fokus pada ponsel, sedang di pangkuannya ada gitar coklat kesayangannya. Seolah tahu kalau gue sedang memperhatikan, Bang Tama menoleh dengan kening berkerut.

"Kenapa, Dek?" tanyanya. "Eh, bentar, muka lo kusut gitu kenapa?"

Gue diam gak berniat menjawab pertanyaan Bang Tama, hanya bisa menghela napas. Ponsel gue berdering menandakan telepon masuk. Saat tahu Papah menelepon, gue gak mau jawab dan langsung mematikan daya ponsel.

"Kok gak diangkat? Oh, gue tahu, ini karena nilai kan?"

Gue spontan menatap Bang Tama. Menghela napas lalu menyandarkan punggung pada sandaran kursi. "Bang, menurut lo enak jaman sekolah atau kuliah?"

The Ambition [End]Where stories live. Discover now