Drama Remeh

540 111 2
                                    

!!!
Klik dulu bintangnya, baru baca, oke?
!!!


























Tepat jam satu siang gue telah sampai di Jogja, di rumah nenek. Sedangkan Budhe Ita langsung ke rumahnya, karena memang rumah beliau juga ada di Jogja dan gak berjarak jauh dari rumah nenek. Sampai di rumah, gue disambut hangat sama keluarga, terutama sepupu-sepupu gue. Sedangkan nenek sendiri telah meninggal tiga bulan yang lalu.

"Haduh ayu tenan, iki ponakanku." (Cantik sekali ini keponakanku.) Gue tersenyum sembari mencium punggung tangan Bulek Ningsih-adik ipar dari Mamah.

"Sombong kali kao orang nih, baru datang main sekarang," ucap Bang Haryo-sepupu tertua-sembari memeluk gue.

Bang Haryo nih sebenarnya asli orang Jogja bahkan dia lahir di Jogja. Tapi sejak kecil dia tinggal di Medan karena pekerjaan orang tuanya. Kelamaan di Medan membuat cara bicara dan prilakunya sama seperti orang Medan, jadi logat bicaranya pun seperti orang Medan.

"Eh, siapa, ya?" ucap gue pura-pura gak kenal.

"Ey, dasar." Bang Haryo memiting leher gue, membuat gue mengaduh sembari memukul-mukul lengannya. Sampai akhirnya dia melepaskan pitingannya di leher gue.

"Ibumu ora melu, Ndok?" (Ibumu gak ikut, Nak?) tanya Budhe Tiara, Ibu Bang Haryo-Kakak dari Mamah.

"Ah, iya, ibu gak bisa ikut, Bulek."

"Yo wes rapopo, istirahat dulu, Ndok, kamu pasti capek. Haryo, iki lho bantu Anggi bawa barang-barangnya ke kamar," titah Budhe Tiara.

Bang Haryo menuruti kata Ibunya dan membantu gue membawa koper ke kamar. "Makasih, Bang," ucap gue saat telah berada di kamar.

Bang Haryo mengacungkan jari jempolnya. "Istirahat, Gi," kata Bang Haryo lalu keluar dari kamar.

Gue mengangguk lalu langsung merebahkan diri di ranjang. Seharian di kereta bikin badan pegel. Baru saja gue mengambil posisi wenak untuk tidur, pintu kamar terbuka menampilkan sosok laki-laki yang sangat gue kenal.

"Wess, apa kabar, Bro. Lama gak ketemu," sapa Bastian, sepupu yang seumuran sama gue dan selalu sok gaul kalo ngomong sama gue.

Bastian selalu ngimbangi diri kalo ngomong sama gue, berusaha gak pakai Bahasa Jawa kalau ngomong sama gue. Walaupun Bastian punya logat jawa yang sangat kental dan kalau ngomong medok jawa banget, tapi gue tetap nyaman ngomong sama dia. Karena itulah Bastian jadi sepupu yang paling dekat sama gue di sini. Selain itu, gue juga suka cara ngomong Bastian yang lembut, dia juga cowok yang murah senyum.

Budaya di sini masih benar-benar Jawa banget. Bahkan katanya keluarga gue masih keturunan darah biru, gak tahu deh itu benar apa enggak. Karena gue masih kurang paham kalau diajak ngomong pake bahasa Jawa, jadi mereka kalo ngomong sama gue tuh bahasanya campuran, kadang Jawa dicampur bahasa Indonesia.

Sopan santun dijunjung tinggi di sini, ngomong pake lo-gue gak di perbolehkan di rumah ini. Bahkan karena saking ningratnya, Budhe-Padhe dan Bulek-Palek gue banyak yang pake saya-anda. Tapi hal itu gak berlaku kalo gue lagi sama Bastian.

"Ya, gitu deh," kata gue mengubah posisi jadi terduduk.

"Makin gendut, ya, lo." Bastian mencubit kedua pipi gue pelan

"Eh, masa?" ucap gue sembari mengambil satu bantal untuk dipeluk.

"Iya, tapi gak apa-apa, lucu." Bastian tersenyum manis menampakan lesung pipinya. Gue hanya mendesis membalas modusan Bastian. "Nah, kebetulah nih lo ada di sini, Gi, gue mau minta tolong dong."

The Ambition [End]Where stories live. Discover now