Be Happy Girl

544 129 0
                                    

!!!
kambek lagi nih, hayoo siapa yang nungguin? #pede bat yaa gua#
jangan lupa klik bintangnya yaa gaes.
!!!
















Dentingan sendok saling bersahutan. Semuanya berkumpul di meja makan pagi ini, menikmati sarapan mereka masing-masing. Gue ngerasa suasanya awkward, karena sejak semalam gue sama sekali belum ada komunikasi apa pun sama papah. Jadilah pagi ini kami sama-sama diam, bahkan namah sama Genta juga ikutan diam, mungkin mereka bingung sama situasinya. Takut-takut salah ngomong makanya mereka milih diam.

"Ekhem." Papah berdehem keras, membuat gue melirik sekilas dan memelankan kunyahan nasi goreng. "Genta kan udah liburan sekolah, gimana kalo hari ini kita jalan-jalan?"

Melalui ekor mata, gue bisa lihat Genta sempat menengok kepada gue. "Sama Kak Anggi kan, Pah? Kak Anggi juga butuh liburan tuh, Pah," kata Genta.

"Enggak, Kakak kamu harus belajar di rumah." Susah payah gue nelan nasi goreng, mendadak gue kenyang.

"Tapi kan ini liburan, Pah, masa Kak Anggi masih disuruh belajar." Mamah ikut angkat bicara.

Papah diam sesaat. "Jadi, Genta mau liburan apa enggak? Mau kemana? Genta mau apa? Pokonya hari ini semua yang Genta mau pasti Papah turutin."

Bibir gue berkedut, ingin ketawa. Tahu banget gue, papah baik-baikin Genta gini tuh karena kemarin Genta berhasil mempertahankan peringkat satunya, cih. Dengan sikap Papah yang seperti ini gue jadi ngerasa kalau semua usaha yang gue lakukan gak berarti, bahkan dihargai saja enggak. Semua insomnia gue, gak ada apa-apanya. Papah paling hebat sedunia gue rasa jatuh ke papah gue. Karena dia paling hebat jatuhin mental anaknya.

"Hooh, aku gapapa kok, Genta bisa liburan sama Papah. Aku harus belajar," ucap gue sembari melirik Papah, lalu melanjutkan sarapan gue.

"Genta sudah selesai sarapanya?" tanya Papah mengalihkan topik.

"Hm, sudah, Pah."

"Yaudah yuk, siap-siap."

Kemudian mereka pergi meninggalkan meja makan, tanpa mengatakan apapun pada gue dan mamah. Berasa kami gak ada di sini. Gue menghela napas panjang, nafsu makan gue hilang. Ahk kenapa sih?! Ini masih pagi lho, tapi gue sudah dibuat badmood gini.

"Gi, jangan melamun, Nak. Itu sarapanmu dihabiskan." Mamah menepuk pundak gue, membuat gue menghela napas lagi.

"Ibu, maaf, ini ada telepon." Budhe Ita datang dan menyodorkan telepon rumah, Mamah pun mengambil telepon rumah yang disodorkan Budhe lalu pergi meninggalkan meja makan.

Sepergiannya Mamah, gue langsung membanting sendok ke piring sehingga menimbulkan suara dentingan yang cukup keras. Gue mendengus kesal.

Sikap Papah mengingatkan gue pada Arletta. Karena sikap Papah hari ini kepada gue sama seperti sikap Papah kepada Arletta sewaktu Arletta masih ada di sini. Setiap kali gue berhasil mempertahankan peringkat dan nilai, Papah akan baik banget sama gue dan kasih berbagai macam hadiah kepada gue. Tapi berbeda sama Arletta yang saat itu bahkan gak bisa masuk sepuluh besar, papah bersikap dingin pada Arletta. Bahkan sikap Papah terkesan seperti menganak tirikan Arletta.

Sekarang gue paham apa yang dirasakan Arletta, gue ngerasain rasanya dianak tirikan sama papah kandung sendiri. Ternyata jadi Arletta bener-bener gak enak, dan semua ini dipendam sendirian sama Arletta. Sebagai saudara kembarnya gue ngerasa jahat sama dia. Awalnya gue pikir sikap baik papah itu tulus, tapi sekarang gue paham. Gak selamanya gue bisa jadi anak emas papah, kapan pun gue bisa dianak tirikan sama papah.

"Dorrr!" badan gue berjengit kaget, merasakan seseorang mendorong pundak gue cukup keras. Gue pun menengok kesamping dan ternyata di sana ada Bang Tama yang menatap gue dengan wajah jengkel.

The Ambition [End]Where stories live. Discover now