Birthday

573 117 2
                                    

!!!
Bintang jangan diabaikan gaes, karena diabaikan itu gak enak lho.
!!!

































"Happy birthday, Anggia," Arletta tersenyum ceria sembari memegang kue ulang tahun.

"Happy birthday, Arletta," balas gue, dengan senyum yang sama cerianya dengan senyum Arletta. Tapi tak lama, karena kini senyum gue telah memudar membuat Arletta mengernyit dahi.

"Kenapa, Gi?" Tanya Letta.

Gue maju dan langsung meluk Letta erat. "Aku kangen kamu." Air mata gue tumpah.

Letta membalas pelukkan gue. "Aku juga, Gi. Aku kangen kamu."

Gue tersentak, dan langsung bangun terduduk. Mengusap mata gue yang basah, kaget sendiri karena ternyata nangis beneran. Tapi tunggu, tadi itu mimpi kan? Kenapa terasa nyata? Hangat pelukan Arletta bahkan masih terasa. Gue melirik jam di atas nakas yang menunjukan pukul dua pagi, lalu beralih melihat kalendar. Ternyata benar, hari ini hari lahir kami. Gue menepuk kening, lupa sama hari ulang tahun gue sendiri.

Tangan gue tergerak mengambil bingkai foto. "Happy sweet seventeen, Arletta," ucap gue lirih, nyaris tak bersuara.

Gue memeluk diri, menatap foto Arletta dengan senyum miris. Gue bersyukur meski hanya bertemu dalam mimpi, setidaknya gue bisa mendengar suara dan bisa memeluknya. Rasa rindu pun sedikit terobati, walau hanya dalam mimpi.

Gue mengusap wajah, lalu keluar kamar hendak ke dapur untuk minum. Namun, saat melewati ruang tamu gue lihat mamah di sana. Gue mengernyit bingung dan langsung menghampriri mamah.

"Mah, kok gak tidur?" Mamah terkejut melihat gue.

"Mamah gak bisa tidur, Gi, keinget Arletta," hawabnya lirih.

Gue pun mendudukkan diri di samping Mamah. Menyandarkan kepala di bahu Mamah.

"Mamah ngerasa kecewa sama diri sendiri, gak bisa jadi ibu yang baik. Gak bisa menjaga anak-anaknya."

Gue menggenggam tangan Mamah. "Mamah kok ngomong gitu?"

"Mamah gak ada di samping Arletta saat dibutuhkan, ibu macam apa mamah ini?" suara Mamah mulai bergetar.

Gue terhenyak. "Mah, ini bukan salah Mamah."

"Mamah bahkan gak bisa ketemu Arletta untuk yang terakhir kalinya."

Gue langsung meluk Mamah. "Cukup, Mah, udah cukup. Semuanya sudah berlalu, ikhlaskan Arletta, jangan nyalahin diri mamah. Ini bukan salah mamah, ini udah takdir, Mah."

"Mamah yang melahirkan Arletta, bagaimana bisa mamah gak ngerasa bersalah. Tapi setidaknya masih ada kamu dan Genta yang bikin mamah masih bisa berdiri tegak sampai saat ini." Mamah mencium puncak kepala gue.

"Maafin Anggia yang sempat egois dan kekanak-kanakan sampai gak mau pulang. Anggia gak mikirin perasaan mamah saat itu, seharusnya Anggia di sini sama Mamah, saling menguatkan satu sama lain."

Mamah mengusap kepala gue. "Mamah ngerti kok kamu pasti kecewa dan sangat kehilangan. Mamah ngerti kalau kamu butuh waktu sendiri, karena mamah yakin kamu pasti akan kembali cepat atau lambat."

Gue mendangak menatap Mamah, karena merasakan air yang menetes di puncak kepala. "Mamah jangan nangis, maafin Anggi."

Mamah langsung mengusap pipi dan matanya. "Mamah terbawa suasana."

Gue menatap Mamah sendu, jadi ngerasa gak karuan. Di balik tegar dan senyumnya Mamah, tersimpan banyak beban yang selama ini disembunyikannya. Mamah benar-benar orang yang kuat untuk anak-anaknya, mamah benar-benar orang yang hebat. Benar, mamah adalah malaikat tak bersayap.

The Ambition [End]Où les histoires vivent. Découvrez maintenant