Epilog

1.1K 159 59
                                    

"Angia, buruan! Gue tinggal nih." Rangga berteriak dari luar rumah, buat gue yang lagi siap-siap jadi kesel.

"Bacot, sabar elah!"

"Gue itung sampe lima kalo lo gak keluar rumah gue tinggal."

"Iya, ini gue udah kelar," ucap gue sembari berjalan keluar dari rumah.

"Lama banget." Rangga misuh-misuh lalu masuk ke dalam mobil dan gue pun menyusul.

Hari ini Rangga akan berangkat ke Makasar dan gue entah kenapa rasanya pengin ikut nganter Rangga ke bandara bersama keluarganya. Selama perjalanan diisi oleh percakapan ringan bersama keluarganya Rangga. Ayah Rangga memang gak ramah, tapi Ibu dan kakak perempuan Rangga ramah banget. Buat gue jadi gak canggung berbincang dengan mereka.

Hingga akhirnya kami sampai di bandara dan inilah waktunya gue say goodbye sama Rangga. "Jaga diri di sana. Jangan nakal, bukan kampung lo soalnya."

Rangga tersenyum miring. "Yee, tau kali gue. Lo juga tuh kuliah yang bener di Jogja jangan ngebucin."

Gue tertawa hambar. "Kalo ada waktu buat ngebucin kenapa gak?" ucap gue disertai tawa.

Rangga berdecih sinis. "Baik-baik di Jogja, jangan lupain gue kalo udah punya teman baru."

Gua tersenyum tulusa sembari mengangguk. "Gak akan gue lupa lo deh kayaknya. Makasih, ya, buat semuanya, karena lo gua bisa lolos SBM."

Iya, Rangga beneran nge-push gue banget untuk mempersiapkan SBM, dia gak bercanda waktu bilang mau bantu gue. Rangga cari info dan jurusan yang gak banyak diminati supaya gue bisa lolos SBM di UNY. Kalau bukan karena strategi Rangga, mungkin gua gak lolos SBMPTN.

"Terima kasih sama diri lo juga dong, kan gue cuman kasih semangat, selebihnya lo yang usaha."

"Tetap aja, lo ikut andil dalam keberhasilan gue." Rangga tersenyum buat gue ikut tersenyum. "Jangan lupa makan. Ngambis boleh, tapi jangan maksain, kalo udah capek, ya, istirahat."

"Iya, Anggi."

"Rangga, sepuluh menit lagi pesawatnya take off." Kakak Rangga datang menatap kami berdua dengan senyum.

Rangga melirik kakaknya skilas kemudian kembali menatap gue. Rangga mengusap puncak kepala gue. Buat tubuh gue membeku karena ini pertama kalinya Rangga ngelakuin hal ini. "Gue berangkat, ya."

Dengan cepat gue menangkis tangan Rangga. "Hati-hati, jangan lupa doa." Gue malambaikan tangan.

Rangga ikut melambaikan tangannya lalu berjalan menjauh dan gue menatap punggung Rangga yang menjauh. Tak terasa sudah waktunya untuk membuka kisah baru, tak terasa waktu secepat ini berjalan, tak terasa kini gue akan menjadi anak kuliahan. Pake almet Univ bukan rok abu-abu lagi.

Banyak pelajaran yang gue ambil selama menjadi anak SMA, dan hal-hal itu pula yang mendewasakan diri gue. Pertemanan dan keluarga adalah dua hal yang paling penting menurut gue dan sangat berpengaruh dalam kehidupan gua. Karena dua hal itulah yang mewarnai kehidupan gue. Meski bukan tentang percintaan ala novel-novel teenlit, tapi cerita gue gak kalah memorable-nya.

Setiap pertemuan pasti ada perpisahan.

Gue bersyukur luar biasa punya orang tua macam papah dan mamah, juga suadara macam Genta dan Arletta. Gue juga bersyukur punya teman macam Rangga yang kadang nyebelin tapi care juga. Adam, Zikra, Ian, Lintang, dan Aksa yang walaupun gesrek, tapi dia jadi yang paling bisa menghibur kala gue badmood. Haris, yang dewasa dan bijak. Zarina, yang suka gosip. Jihan dan Hasna yang kalem-kalem, tapi menghanyutkan.

Zeline, anak periang yang bikin orang terdekatnya tertular oleh sifat periangnya. Ayu, yang centil dan blak-blakan. Arra, yang plin-plan. Anna, yang jutek dan misterius. Naura, anak kalem yang polos, tapi galak. Hanna, si gadis pencari cogan. Delvin, yang ternyata musuh dibalik selimut--gue berharap gak ada teman model gini di perkuliahan sih. Julian si cogan famous, tapi dingin. Gilang, cowok rada-rada gesrek yang paling sabar ngadepin kelakuan absurd anak kelas.

Perbedaan karakter merekalah yang buat hari-hari gue anti mainstream. Tapi ambisi tetaplah ambisi dan sampai akhir anak kelas tetap jadi anak yang ngambis. But overall gue punya banyak kenangan manis sama keluarga dan anak-anak kelas. Karena mereka, masa SMA gue lebih bermakna dengan pelajaran-pelajaran kehidupan yang buat gue semakin dewasa. Secara gak langsung mereka mengajarkan gue untuk tetap jadi diri sendiri apa pun yang terjadi.



Mereka adalah rumah kedua gue.



Terima kasih Papah-Mamah.



Terima kasih Arletta.



Terima kasih IPA. 1




Terima kasih readers :))



Semuanya terima kasih, kalian memorable banget buat gue.




-Tamat-

Udah ending nih gaes.

Aku mau tanya nih, gimana pendapat kalian tentang cerita ini?
Buat evaluasi aku supaya kedepannya bisa lebih bagus lagi.

Makasih banyak buat kalian yang udah baca dari awal sampai akhir.

Nah udah akhir nih masa masih belum vote. Ayo dong jangan pelit vote karena satu vote dari kalian adalah penyemagat buatku.

Thank you gaes. Jangan lupa mampir ke work aku yang lain yaa.

Jangan lupa juga follow aku.

The Ambition [End]Where stories live. Discover now