Nano-nano Rasanya

569 114 1
                                    

!!!
Bom chap nih, seneng gak? Kalo seneng boleh dong di vote dulu, tinggal klik bintang aja kok. Belajar menghargai karya, oke?
!!!



























Pagi-pagi sekali sekitar jam lima gue sudah rapi. Keluar kamar, menemukan keadaan rumah yang masih sepi. Mungkin masih pada tidur. Kemudian gue melangkah menuju dapur, mencari makanan di sana untuk sarapan. Karena gue berniat untuk pergi ke RSJ pagi-pagi sekali.

Sebelumnya, gue telah mencari tahu alamat rumah sakit itu, dan gue butuh ojek sewaan untuk pergi kesana. Takutlah kesasar kalau naik angkutan umum. Gue gak tahu sama sekali jalanan Jogja.

Gue gak bisa minta bantuan orang rumah, karena gak ada seorang pun yang tahu tentang tujuan gue datang ke Jogja. Gue rasa kalau mereka tahu, mereka akan ngomong ke papah dan membuat rencana gue gagal. Jadi, gue mau diam-diam aja.

Gue menemukan roti di atas meja makan, lalu mengambil selembar roti itu dan langsung memakannya tanpa mengoleskan selai. Terlalu malas untuk ngolesin selai. Sembari makan, gue bermain ponsel, dan mendapati banyak pesan masuk dari Bastian. Sejak semalam gue memang belum membuka ponsel dan saat pulang, Bastian sudah tidur. Jadi, sejak kejadian itu kami belum ada komunikasi.

Bastian kirim spam chat, isinya permintaan maaf dan nanya lagi di mana trus disuruh cepat pulang. Juga ada banyak miss call dari Bastian. Ponsel gue sering dalam keadaan silent, jadi sering gak tahu kalau ada telepon dan pesan masuk. Jam telah menunjukan pukul enam pagi setelah menghabiskan selembar roti, gue beranjak. Tapi saat itu, gue ketemu sama Budhe Tiara yang kelihatannya habis selesai mandi, karena aroma sabunnya langsung menyeruak di hidung.

"Anggia? Sudah bangun jam segini toh, mau kemana, Ndok, wis ayu ngene lho?" Budhe Tiara menatap gue dari atas kebawah.

"Gak kemana-mana. Pengin keliatan rapi aja." Gue nyengir.

"Oalah." Budhe tersenyum.

"Yaudah, aku keluar dulu, ya, Budhe. Udara paginya segar banget."

Setelah mendapat persetujuan dari budhe, gue langsung pergi ke kamar dan mengambil sling bag lalu bergegas ke luar rumah.

Tapi saat hendak membuka pintu keluar, saat itu juga ada orang dari balik pintu yang mendorong pintu dengan kuat. Gue ikut terdorong dan akhirnya terjatuh. Ternyata orang dari balik pintu itu adalah Bang Haryo.

"Eh, ya ampun, Gi. Maaf," ucap Bang Haryo sembari membantu gue berdiri. Lalu gue mengambil sling bag yang terjatuh.

"Ah, iya, gak apa-apa, Bang. Gue keluar dulu, ya," gue melangkah, tapi Bang Haryo menahan lengan gue. Membuat gue mengernyit. "Kenapa, Bang?"

Bang Haryo menatap gue, dengan kernyitan di dahi "Ini apa?"

Mulut gue spontan terbuka melihat kwitansi pembayaran rumah sakit jiwa itu ada di tangan Bang Haryo. Kok bisa? Ah, mungkin jatuh dari sling bag gue tadi. Gue langsung merebut itu dari tangan Bang Haryo tapi dia berhasil berkelit. Gue kelabakan, berusaha cari alasan untuk bisa kabur dari Bang Haryo tanpa menimbulkan kecurigaan. Tapi kayaknya Bang Haryo sudah curiga saat melihat gelagat gue.

"Atas nama Bapak kao ini, siapa yang masuk rumah sakit jiwa?"

Susah payah gue meneguk saliva. Bola mata gue bergerak mengalihkan pandangan dari Bang Haryo. Duh, kurang pagi gue bangunnya nih.

"Kutanya kao malah diam."

"Anu, itu, Bang," gue menghela napas kasar. Mau pake alasan apa pun bakal susah, karena Bang Haryo udah curiga. Salah satunya cara yaa ceritain dengan jujur.

The Ambition [End]Where stories live. Discover now