Chapter 12

3.4K 218 9
                                    

Arslan POV

Dia benar-benar gila, wanita itu gila. Bagaimana bisa dia berdiri ditengah-tengah pantai, yang jelas-jelas sudah menenggelamkan tiga perempat dari tubuhnya.

Jika saja aku tidak ada keinginan keluar hotel. Mungkin wanita itu sudah mati tenggelam, karena terseret ombak pantai.

Entah apa yang merasuki dirinya, sampai senekat itu untuk melakukan percobaan pembunuhan pada dirinya sendiri. Aku akui mentalnya sedang terganggu, tapi apa dia tidak punya pikiran sehingga ingin mengakhiri hidup?

Aku yakin dan sangat yakin, jika dia ingin mengakhiri hidupnya. Dia ingin bunuh diri!

Tidak mungkin jika hanya ingin menikmati air pantai.

"Apa kau gila, kenapa kau senekat itu?" bantak ku. Aku memegang kedua bahunya dan mencengkramnya sangat erat.

"Kenapa Rexia? Kenapa!"

Ya, Rexia. Wanita itu Rexia!

Rexia menangis, wanita itu bahkan enggan entuk menunjukkan wajahnya. Hanya menunduk yang dia lakukan.

"Apa yang telah terjadi, sehingga membuat mu ingin mengakhiri hidup?"

Pertanyaan ku sukses membuat Rexia mengangkat wajahnya, dan menatapku dengan tatapan terluka. Matanya menyiratkan kesedihan yang mendalam.

"Hidupku ini hancur. Sudah hancur." lirihnya. Tangannya terangkat, melepaskan tanganku yang masih bertengger dikedua bahunya.

"Hidupku sudah tidak berarti. Seolah takdir ini tengah mempermainkan ku. Aku dipermainkan oleh takdir."

Dia meremas kedua tangannya, matanya dipejamkan sesaat.

"Take my soul God. Take my soul God, aku tidak sanggup hidup lagi."

Aku merasa kasihan melihatnya hancur seperti ini. Dengan kemantapan hati, aku perlahan meraih kedua bahunya dan menarik tubuhnya kedalam pelukan ku.

Persetan dengan bajuku yang akan basah karena memeluk Rexia--yang pakainya masih basah.

"Shutttt jangan menangis, hantikan tangisan mu. Kau tidak akan pergi meninggalkan dunia ini, kau akan melewati semua rintangan ini Rexia. Aku yakin kau pasti bisa melewatinya." ucapku seraya mengelus punggungnya. Dapat aku rasakan jika tubuhnya menggigil karena kedinginan.

Pelukanku semakin erat, tak ingin Rexia merasa kedinginan.

Sekitar sepuluh menit, tangis Rexia mereda. Dia mendorong tubuhku paksa, agar segera melepas pelukannya.

Saat itu juga aku sedikit canggung, tapi persetan dengan itu!

"Bisa ceritakan apa masalahmu? Sampai kau berkeinginan mengakhiri hidup?"

Rexia menatap Arslan cukup lama, "Siapa Anda yang harus tahu masalah saya?"

Skak

Ya Tuhan, wanita ini rupanya sudah kembali pada dirinya yang sebelumnya.

"Kau harus tahu, jika saja aku tidak ada disini, mungkin besok ibumu itu akan mendapatkan jasad mu. Dan meraung-raung menangisi dirimu, tega kau? Setidaknya cerita jika mempunyai masalah, jangan bertindak bodoh seperti tadi. Aku menanyakan karena aku peduli, Rexia." sungut ku penuh emosi. Entah kenapa wanita satu ini suka membuat emosiku naik.

"Mommy ku pembohong, dia pembohong. Puas kau? Dia menyembunyikan kebenaran tentang mami ku, mami yang menjadi separuh jantungku."

°•°•°•°•°

Rusia

Dikediaman David, tengah diramaikan oleh anak-anak dan juga teriakan Aretha. Hari ini adalah hari spesial bagi anggota keluarga Aderxio, Elisa akan bertunangan dengan pujaan hatinya--Duda beranak satu.

Seminggu lagi, acara pertunangan akan dilaksanakan, akan tetapi pihak keluarga Elisa ingin segera menyiapkan persiapannya. Agar ketika hari itu tiba, semua berjalan dengan lancar.

Dan William? Pria itu hanya menuruti, dan sekarang ia tengah berada di ruang tamu kediaman David.

"Tuan William." panggil Eli dengan suara kecil.

"Hmm."

"Tuan."

"Hmm."

"Tu--"

"Kau ini sebenarnya ingin mengatakan apa? Dari tadi tuan, tuan, tuan." kesal William. Pria yang tengah memeriksa email di laptopnya itu, menatap Eli dengan tatapan tajam.

"Hmm, aku mau ajak Laura jalan-jalan. Apakah boleh?"

Sesaat William terdiam, menimang memberi izin atau tidak.

"Ingin jalan-jalan kemana?"

"Ke restauran Belanda, yang baru kemarin sibuk di Rusia. Boleh ya?" tanya Eli lagi. Ia memelaskan tatapan matanya, agar William segera memberinya izin.

"Sebenarnya jika kau mau pergi, tak perlu izin padaku karena kau izin atau tidak itu tidak penting. Berhubung kau pergi dengan Lauta, maka sudah seharusnya kau meminta izin. Aku mengizinkan dengan syarat, jaga putri kesayangan ku baik-baik, dan jangan biarkan dia memakan makanan yang tidak baik bagi tubuhnya." tutur William tanpa memperdulikan perasaan Eli. 'jadi hanya Laura yang di khawatirkan?'

Elisa memaksakan senyumnya, "Ya, akan aku jaga Laura. Karena dia juga anakku, putriku."

"Belum, dia belum menjadi anakmu. Karena kita saja belum terikat hubungan. Lagipula ketika dia sudah menjadi anakmu, maka dia anak tirimu."

"Ya, iya. Kalau begitu aku pergi. Tuan bisa pergi juga, tapi sebelum itu pamit lah pada ayah dan mama."

Sepeninggal Eli, William menghembuskan nafas panjangnya. Ia heran, kenapa mulutnya ini selalu berkata pedas pada wanita itu.

Tak bisa dipungkiri, jika William merasa tidak enak dengan Eli. Pasalnya, selama ini wanita itu sudah mati-matian menunjukkan rasa cintanya pada William dan juga Laura. Tapi, apa boleh buat jika William tak ada rasa sama sekali?

Bertunangan pun itu karena paksaan mommy nya dan juga Laura yang menginginkan ibu.

Entah, sepertinya ia harus belajar berbicara manis agar tak menyakiti hati Eli. Ia yakin hati Eli sakit ketika mendengar ucapannya barusan.

°•°•°•°•°•°
.
.
.
TBC!!!
.
.
.
Wait for the update!!!

Untuk cerita Eli dan tuan William, itu adalah sebagian clue dari cerita she's Perfect girl (cerita Ale dan Theo)

Jadi cerita ini berkaitan.

Crazy Wife || [Aderxio Series#2]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang