Chapter 17

3.2K 203 48
                                    

05.45 A.M

Rexia terdiam sambil menyenderkan tubuhnya dikepala ranjang, wanita itu menatap kosong kearah kertas putih yang tersih penuh oleh tulisan tangan. Sekali lagi Rexia baca isi kertas itu, setetes air mata mengalir dari sudut matanya.

Ada sedikit penyesalan dalam dirinya, dimana ia semalam menjadi gadis penurut dan ah tidak bisa dideskripsikan lagi.

Seharusnya ia tahu jika Arslan akan kembali ke Britania hari ini, tapi entah kenapa ia mengiyakan ajakan Arslan untuk bercinta? Dia wanita bodoh.

"Bodoh, bodoh kau Rexia." gumam Rexia seraya menatap kosong kearah secarik kertas ditangannya. Kertas yang ditinggalkan oleh Arslan diatas nakas kamar hotel.

Bahkan wanita itu sendiri pun tidak tahu akan perginya Arslan, ia tahu bangun-bangun sudah ada kertas dengan coretan tangan Arslan. Baginya ini seperti penghinaan, ia sudah seperti wanita one night stand

Tapi kembali lagi pada Rexia, semalam ia terlalu hanyut dalam perlakuan manis yang Arslan berikan.

"Setidaknya kau pamit padaku sebelum ke bandara, kelakuanmu ini menjatuhkan harga diri ku. Kenapa kau begitu jahat? Kenapa kau hanya meninggalkan secarik kertas ini?" gumam Rexia. Wanita itu m ngehapus kasar air matanya. Dan segera turun dari ranjang.

Ia sudah berpakaian, hanya saja masih enggan untuk meninggalkan kamar hotel. Baginya, tempat ini adalah tempat terakhirnya bersama Arslan. Tempat ini juga menjadi saksi, Rexia menyerahkan tubuhnya untuk Arslan. Mungkin Arslan memang bukan pria pertama yang berhubungan dengan Rexia, tapi Arslan pria kedua setelah Robert.

Kini bayangan kejadian semalam berputar dikepala Rexia. Wanita itu mengingat semua yang sudah terjadi, ada sedikit penyesalan dan juga sedikit kebahagiaan.

Entah kebahagiaan apa yang Rexia rasakan. Dan semoga saja kejadian semalam tidak membuahkan apa-apa, hanya itu yang Rexia pinta untuk saat ini. Biarkan ini semua berlalu dan berjalan dengan semestinya.

Biarkan ia dan Arslan menjalani hidup masing-masing. Ya, biarkan!

°•°•°•°•°

Rusia

Berbeda seperti yang kemarin telah direncanakan. Arslan dan Stevano tidak langsung kembali ke Britania, mereka berdua menuju Rusia. Itupun karena Arslan memaksa. Ada sesuatu yang sangat penting sehingga Arslan memutuskan untuk singgah terlebih dahulu di Rusia, sebelum kembali menjalani rutinitasnya di Britania.

Pria tampan itu hari ini terlihat bahagia sekali, pasalnya saat di Santorini ia mendapati pesan dari orang yang tidak dikenal. Namun tak lama kemudian ia tahu jika sang pengirim pesan adalah sahabat masa kecilnya.

"Jadi, siapa Alana itu?" tanya Stevano yang tengah mengemudikan mobil.

Ya, setelah mengabari David tentang kepulangannya. Pria baya itu langsung mengerahkan beberapa anak buah untuk menjemput putra pertamanya ini. Dan dengan permintaan Stevano sendiri, pria itu mengemudikan mobilnya sendiri.

"Dia sahabat kecilku, kami berpisah cukup lama."

"Jadi ini yang membuatmu ke Rusia? Dan omong-omong kalau berpisah cukup lama, kenapa dia bisa tahu nomor mu?"

Arslan menarik nafas dan menceritakan semuanya--apa yang telah diceritakan Alana tentang keberadaannya di Rusia.

"Oh, lalu bukannya kemarin kau pergi dengan Rexia?" tanya Stevano. Sedetik kemudian mata Arslan melotot, dan hal itu tertangkap oleh netra Stevano.

"Ada apa?"

"Ya Tuhan, Rexia. Aku meninggalkannya sendirian dikamar hotel, saat menerima pesan Alana dan mendengarkan cerita Alana. Waktu itu aku terburu-buru karena rasa bahagia ku, saat tahu Alana tengah berada di Rusia. Aku hanya meninggalkan secarik kertas diatas nakas kamar hotel." jelas Arslan, terdapat sorot penyesalan.

"Ya Tuhan, dude. Apa kau sudah gila heh? Meninggalkan Rexia sendirian dikamar hotel? Dimana otakmu itu, tapi-- kenapa kalian bisa ada dikamar hotel?"

Arslan terdiam, ragu untuk menceritakan kejadian saat di Santorini.

"Hei, aku tanya kenapa kau malah melamun?"

Arslan gelagapan, ia tersenyum kikuk. Masih memikirkan untuk menceritakan tentang semalam atau tidak. Tapi tak urung juga ia menceritakannya pada Stevano, saat melihat mata Stevano yang sudah menatapnya tajam.

"Sebelum ke bandara, malamnya aku dan Rexia--"

"Apa?"

"Aku dan Rexia--"

"Kenapa kau dan Rexia?"

"Aku dan Rexia bercinta." ucap Arslan dengan sekali tarikan nafas.

Satu detik

Dua detik

Tiga detik

Satu menit

Lima menit

"Dasar pria bajingan, bisa-bisanya kau meninggalkan Rexia setelah kalian bercinta. Kau tidak pamit dan hanya meninggalkan secarik kertas?"

"Iya."

"Bodoh, kau meninggalkan dia sendirian setelah menerima pesan dari sahabatmu itu? Dimana otakmu itu Arslan, apa kau tidak memikirkan perasaan Rexia? Kau seolah-olah membuatnya seperti wanita one night stand."

Apa yang baru saja Arslan dengar. Stevano memanggil namanya? Tanpa embel-embel dude?

Jika sudah memanggil nama, Arslan tahu Stevano pasti saat ini tengah marah atau kecewa dengan dirinya.

"Kau--" ucapan Arslan terputus saat Stevano kembali berbicara.

"Bodoh, kau bodoh. Jika saja bibi Aretha tahu apa yang telah diperbuat oleh putranya, dia akan sangat kecewa!" desis Stevano.

Ketika menyebut nama Aretha, saat itu juga Arslan kepikiran dengan sang mama. Bagaimana jika Stevano bercerita pada mamanya? Dan bagaimana reaksi mamanya?

Memikirkan itu semua membuat otak Arslan terasa akan pecah.

"Dan bagaimana jika perbuatan mu dengan Rexia semalam, membuahkan hasil. Bagaimana jika Rexia hamil?"

Deg

Arslan tidak pernah berpikiran tentang itu.

°•°•°•°•°•°
.
.
.
TBC!!!
.
.
.
Wait for the update!!!

Satu kalimat buat Arslan?




Crazy Wife || [Aderxio Series#2]Where stories live. Discover now