1. Pagi-Pagi Curhat

5.3K 205 17
                                    

Disuatu pagi, Taeyong terbangun akibat suara kokok ayam jantan menyatu dengan suara Jaehyun yang sedang sholat. Taeyong berguling dari tempat tidur, mengenakan t-shirt, buang air kecil, kemudian masuk kembali ke kamar, berbaring di tempat tidur, matanya terpejam.

"Bisa kan lo ngedoanya jangan terlalu kenceng? Bukannya Tuhan bisa denger walopun bisik-bisik doang?" Taeyong bertanya, bukannya ikut sholat.

"Gue galau, Yong. Perasaan gue resah mulu bawaannya," kata Jaehyun tanpa membuka mata. "Hubungan gue sama Johnny makin nggak jelas, karna gue mau pun dia nggak bisa ngejanjiin adanya pernikahan dihubungan kita. Jelas itu nggak mungkin. Tapi gue udah terlanjur sayang sama dia. Gue nggak bisa ngelepas dia. Coba bayangin apa jadinya kalo gue hidup tanpa dia, Yong. Gue mati. Dia mati. Kita mati." Sambil mengerutkan bibir Taeyong menatap Jaehyun tanpa suara. Lalu Jaehyun membuka mata, menatap Taeyong dengan kekehan canggung. "Gue lebay, ya?"

Taeyong mengangguk ringan. "Iya."

"Lo bakal ngerasain apa yang gue rasain sekarang ketika lo jatuh cinta sama cowok, Yong. Lo bakal ngerasain sakit yang sempurna. Bahkan mungkin lo nggak akan pernah bisa ngontrol baterai emosional lo ketika banyak orang yang nentang keinginan lo, kayak gue." Jaehyun tersenyum kecut, lalu melepas pecinya. "Bunda akhir-akhir ini rewel ke gue, sering nanya kapan bawa pacar ke rumah dan Bunda ngebet banget gue nikah muda."

Terlentang, Taeyong menerawang langit-langit kamarnya. "Kenapa lo malah pilih jalan itu kalo lo tau pada akhirnya lo akan sakit kayak sekarang?"

"Being gay has never been a choice. Jadi gay nggak pernah jadi pilihan. Kalo emang jadi gay itu pilihan, berarti jadi straight juga pilihan dong? Siapa yang mau milih jadi manusia yang terus-terusan dilabeli pendosa, nggak normal, dikucilkan, dihujat, dibilang macem-macem? Nggak ada, kan? Oke, untuk kasus gue emang beda. Gue cowok straight tapi dengan tololnya gue malah coba-coba dijalan ini. Nggak, gue nggak pernah nyesel karna mungkin ini takdir gue. Garis hidup gue. Tapi gue selalu bertanya-tanya, apa menjadi gay itu adalah takdir dari Tuhan?" Jaehyun menatap Taeyong dengan pandangan sendu.

Taeyong bergeming, masih menerawang langit-langit kamarnya.

"Sekarang gue paham menjadi gay bukan pilihan, kalo ini pilihan tentu lo bakal milih pilihan yang lebih baik. Meski dalam kasus lo, lo yang salah karena udah berani mencoba sesuatu yang dilarang yang pada akhirnya lo kekurung di dalam labirin yang lo ciptain sendiri," ujar Taeyong setelah beberapa saat terdiam. "Gue mau nanya, apa lo nggak berniat berubah?"

Jaehyun tertegun.

Taeyong menoleh ke arah Jaehyun dengan posisi berbaring menyamping. "Kalo Kakek sama Nenek sampe tau atau lebih parahnya orang tua Johnny sampe denger masalah ini gue yakin mereka nggak akan segan-segan misahin kalian berdua. Mereka nggak open minded sama hal-hal tabu semacam ini. Bagi mereka lo sama Johnny bakal dianggap sakit. Dan kalian berdua bakal disuruh buat pisah." Taeyong menghela napas. "Maaf Jay, gue nggak maksud menggurui lo, gue cuman khawatir sama lo, sama Johnny juga. Gue tau perubahan itu nggak semudah ngebuang sampah di Jakarta. Setiap perubahan butuh proses yang nggak sebentar apalagi menyangkut perasaan. Tapi kalo lo tetep nggak bisa ngubah apa pun, dan milih buat bertahan, gue Taeyong bakal selalu ada di belakang kalian berdua. Gue nggak membenarkan pun nggak memersalahkan LGBT. Gue cuma pengen menjadi sepupu yang bisa kalian andelin."

Pada pagi itu, tentu saja, Jaehyun menangis dalam diam. Meremat pecinya kuat-kuat, dia merasa malu kepada Tuhan.

○○○

Langkah Jaehyun gontai. Jaehyun merasa pernah ada diposisi ini dengan pikiran sama, juga ketakutan yang tidak jauh berbeda. Ini seperti deja vu. Dia tenggelam bersama pikiran negatifnya hingga tidak sadar sudah berjalan jauh dari rumah Taeyong, melewati rumah Johnny, rumah orang tuanya, dan berakhir menulusuri pekarangan rumah paling megah, rumah keluarga Mark. Lalu duduk di bangku mahoni yang berada di halaman rumah tersebut karna kebetulan pintu gerbangnya sedang terbuka.

Pandangan Jaehyun kosong. Padahal masih jam 6 pagi.

"Bang Jay?" Mark menegurnya. "Lo ngapain duduk di sini jam segini? Nyari gue? Ayo masuk, kebetulan gue baru pulang syuting."

Jaehyun tersenyum hambar.

"Eh?" Mark duduk di samping Jaehyun. Pemuda bersurai legam itu sadar ada yang tidak beres dari kakak sepupunya itu. Kalau tidak, Jaehyun pasti sudah membalas serentetan pertanyaan Mark. "Kenapa bang?"

"Hm?"

"Kenapa?" Nada suara Mark melembut. Percayalah, Mark sangat peduli pada Jaehyun meski keadaanya lagi super capek.

Senyum kaku muncul diwajah Jaehyun. "Nggak."

"Bang." Mark berwajah serius.

Jaehyun mencoba tertawa namun terdengar sangat sumbang. "Gue nggak apa-apa."

"Jangan kira gue nggak tau. Ada yang lo pikirin?" Mata Mark menyipit curiga. "Bang Johnny?" tanyanya hati-hati. "Kalian berantem?"

Jaehyun terdiam.

"Bang?"

Helaan napas panjang keluar dari mulut Jaehyun. "Kemaren gue kena teguran atasan lagi."

Jeda beberapa detik sebelum Mark kembali bersuara, "Hah? Lo ngelindur kali. Bukannya kinerja lo bagus? Kan lo sering cerita ke gue. Gimana, sih?"

Jaehyun diam sebentar sebelum kemudian mulai merapal lirik lagu. "Wherever it's going ... I'm gonna chase it. What's left of this moment--"

"Zedd Beautiful Now," tebak Mark asal.

Jaehyun mendelik. "Gue nggak ngajakin main tebak lagu."

Mark terkekeh membuat Jaehyun mendengus sebal. "Oke. Terusin," kata Mark.

"You're different and special. You're different and special in every way imaginable-"

Mark tersenyum saat mendengar suara merdu yang terdengar lirih itu, tentu Mark tahu lagu itu. "Jill Scott He Loves Me," tebaknya lagi.

Kali ini Jaehyun berdecak, bibirnya mengerut lucu. "Gue bilang, gue nggak ngajakin main tebak lagu."

Mark tertawa lepas. Yang butuh hiburan Jaehyun tapi yang terhibur malah Mark. Tapi memang seperti itu cara Mark menghibur Jaehyun. Bukan membantu melupakan kesedihannya tapi menambah kekesalannya. Dan cara seperti itu selalu berhasil membuat Jaehyun merasa lupa dengan kesedihannya.

"Gue nyesel." Jaehyun pada akhirnya memulai.

"Kenapa?"

"Gue nggak tau harus gimana, Mark." Jaehyun menoleh dan tersenyum tipis. "Lo inget Mark, waktu itu gue bilang ... gue nggak akan nyesel karna Johnny nggak ngerasa dirugiin. Bahagia gue sederhana. Cukup ada Johnny disamping gue, udah itu aja. Tapi, kata sederhana itu amat sangat mahal dan bakalan susah gue milikin. Waktu itu dipikiran gue cuma pengen liat Johnny disamping gue. Gue sibuk dengan itu dan lupa akan hal lain. Gue lupa berpikir realistis. Gue lupa kondrat gue sebagai cowok. Gue lupa kalau gue sama Johnny sama-sama cowok."

Mark terdiam sebelum menghela napas berat. "Kita kalo sayang sama orang pasti pengen bareng orang itu, nggak peduli gender kita yang sama-sama cowok atau yang sama-sama cewek. Jujur, gue nggak terlalu paham sama hal beginian, gue nggak ngalamin tapi gue cuma mau bilang, lo berhak dapetin apa yang membuat lo seneng."

Jaehyun tercenung. "Mark ... gue sayang Johnny."

Mark kembali menghela napas, lalu merangkul Jaehyun. "Gue tau, Bang. Gue tau."

"Gue salah, ya?" Jaehyun menahan sesak di dadanya.

Mark menggeleng seraya mengeratkan rangkulannya di bahu Jaehyun. "Perasaan nggak bisa bohong. Pertentangan pasti ada tapi mereka mau nggak mau harus ngerti keadaan lo."

Jaehyun meragu. "Tapi bunda sama ayah bakal kecewa."

Mark tersenyum. "Asal lo ngomong baik-baik, gue yakin mereka pasti ngerti kekurangan lo."

"Jadi gue nggak salah?"

"Kalo lo salah, lo bakal gue marahin. Gue akan ikut nyalahin lo, tapi abis itu lo gue peluk. Gue akan bilang kalo lo salah tapi lo masih punya gue buat bantu lo memperbaiki kesalahan lo."

Jaehyun menangis. "Kenapa harus sama lo sih gue dapet kata-kata semanis ini?"

Mark hanya tertawa lalu menuntun Jaehyun masuk ke dalam rumah.

○○○

JOHNJAENOLOGIWhere stories live. Discover now