9. Johnny ( II )

1K 89 2
                                    

"Cherry menelepon ayah," katanya. "Dia mencemaskanmu karena kau tidak mengangkat teleponnya." Kurasakan mata tajam ayah menghunusku.

Dan kudengar Mark cekikikkan penuh kepuasan. Sialan. Dia menikmati penderitaanku. Awas saja kau Mark.

○●○

Dan di sinilah aku sekarang, berakhir di ruang kerja ayahku tanpa tahu apa maksud beliau membawaku ke sini. Lima menit yang lalu ibuku ikut bergabung bersama kami. Dia wanita bertubuh mungil berambut hitam legam, dan dihiasi helai-helai putih terang di bagian depan. Meski begitu, ibu masih tetap terlihat cantik dan ayah sangat tergila-gila padanya.

Lima belas menit kemudian ayah mengutarakan keinginannya yang membuatku lupa bagaimana caranya bernapas. Sebait kalimat yang langsung menohokku.

"Bulan depan kau akan bertunangan dengan wanita yang sudah ayah pilihkan untukmu. Bersiaplah."

Seriously?

Ayah menyuruhku bertunangan dengan seorang wanita? Aku yang gay akan bertunangan dengan wanita?

Hell no!

"Johnny." Suara ibu membungkam mulutku yang siap melayangkan protes. "Kau tidak punya pilihan, nak. Ayah dan ibu sepakat pertunangan ini adalah pilihan yang tepat untukmu."

○●○

Tentu saja aku menolaknya mentah-mentah. Bertunangan katanya? Dengan wanita? Sialan! Kupikir diamnya mereka tentang orientasi seksualku selama ini karena mereka bisa menerima kekuranganku. Tapi nyatanya─sial.

Sampai menjelang malam aku hanya mengurung diri di dalam kamar. Bahkan aku mengabaikan telepon dari Cherry kesayanganku dan teriakan Mark di depan pintu kamarku.

Kudengar pintu berderit pilu, aku bangun dari rebahanku, kulihat pintu kamarku terbuka perlahan dan menampakkan ibu yang berjalan melewati pintu kamar sambil membawa nampan. Sepertinya menu makan malam untukku.

"Makan dulu, sayang," ujar ibu sembari menaruh nampan di nakas samping tempat tidurku.

Aku balas tersenyum ketika ibu tersenyum lembut padaku.

Lalu beliau meraih kedua tanganku dan merematnya. "Maafkan ibu. Ibu tahu keputusan kami sangat membuatmu terpukul."

Aku melepaskan tanganku dari genggamannya dan sekarang giliranku yang menggenggam kedua tangannya yang mulai keriput. Aku tahu kekhawatiran beliau padaku karena aku juga pernah merasakannya. Orang tua mana sih yang rela anak laki-lakinya gay? Kurasa tidak ada.

Aku merangsek maju dan memeluk tubuh hangat ibuku. "Tapi aku tidak bisa, bu," kataku lirih di bahu ibuku. "Maaf..., aku tidak bisa." Aku putus asa. Kuharap ibuku bisa mengerti dan meloloskan aku dari acara pertunangan itu. Kemudian yang membuatku terkejut adalah, ibuku menangis. Beliau membelai rambutku dengan sayang sambil berkata 'tidak apa-apa, nak'.

Aku melepaskan pelukanku lalu mengambil nampan yang dibawa ibu dan menyodorkannya pada beliau. "Suapi aku."

Ini memalukan. Aku Johnny Suh. Tiga lima tahun. Baru saja mengatakan kalimat yang memalukan pada ibu. Ibu hanya tertawa, namun tetap menuruti permintaanku, menyuapiku dengan telaten.

○●○

Aku tersentak bangun dari tidurku pada pukul sebelas malam, ketika seseorang menghambur masuk ke kamarku tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Aku memutar kepala dan menyipitkan mata kepada orang itu.

"Apa-apaan ini?" tanya Yuta hampir berteriak. Aku mengernyit bingung.

"Maksudmu?" aku balik bertanya. Tentu saja aku tidak mengerti. Dia sekonyong-konyong datang ke kamarku dengan pertanyaannya yang ambigu, membuat kepalaku pusing saja.

"Aku sudah mendengar kau akan bertunangan. Begini ya idiot, aku ingin menghiburmu, tapi rasanya aku harus buang air besar dulu karena perutku benar-benar mulas." Yuta melesat melewati tempat tidurku dan membuka pintu kamar mandi lalu membantingnya. "Ya Tuhan, orang ini, kau habis makan apa, sih? Baunya seperti─AKH─KOTORAN! KOTORAN! AAAKH!"

Dan sementara Yuta menjerit-jerit seperti banci, aku berpikir, Oh. Benar. Toilet. Belum kusiram.

To Be Continued

JOHNJAENOLOGIOù les histoires vivent. Découvrez maintenant