6. Suara

967 96 9
                                    

Suara.

Di pelataran gereja st. Olav's Youngho memandangnya yang tengah berdiri di bawah sinar rembulan. Merekflesikan keindahan malam dalam sejuta lembaran keanggunan. Wajahnya rupawan dengan mata cokelat pekat. Rambutnya pun hitam legam tersibak semilir angin sepoi-sepoi.
Matanya yang indah selalu menatap Youngho dengan kelembutan dan kehangatannya. Menjatuhkan Youngho dengan pesonanya dan melumpuhkan Youngho dengan segala keangkuhannya.

Sungguh Youngho terjatuh oleh pemilik segala keindahan Tuhan.

Benar-benar menawan.

○○○


"Jangan mencondongkan tubuhmu seperti ini, hyung. Aku bisa mendengarmu," katanya menggerakkan jemari membentuk simbol-simbol yang Youngho mengerti.

Pemuda itu harus kehilangan suaranya sejak lahir. Namun bagi Youngho suaranya lembut sama seperti hatinya. Youngho tidak pernah menganggapnya sebagai seseorang yang kurang. Dimata Youngho, pemuda itu sempurna.

"Kau bisa mendengarku?" Youngho menunjuk dirinya, memutar telunjuk mengambang di dekat telinga dan menempelkan jemari di dada.

Pemuda itu mengangguk dan menunjuk sebuah alat bantu dengar yang tertanam di daun telinganya sambil tersenyum.

"Maaf, aku tidak tahu," ucap Youngho dengan suara dalam, seperti menyesali sikapnya.

Pemuda bernama Jung Yoonoh itu tertawa, membuatnya semakin menawan dimata Youngho.

"Tidak apa-apa, hyung. Oh-" Yoonoh teringat sesuatu dan menancapkan telunjuknya di lengan Youngho, meleburkan rasa penyesalan dibenak Youngho.

"Kita sudah satu jam duduk di sini. Kau tidak lupa dengan janjimu, 'kan?" Yoonoh menggerakkan kedua tangannya sebagai alat komunikasi. Meski pada awalnya bagi Youngho ini sangat sulit. Tapi setelah khusus mempelajari bahasa isyarat tangan selama berbulan-bulan sekarang semua menjadi mudah.

"Ey, tentu saja tidak, Seo Youngho tidak pernah melupakannya janjinya." Youngho mengerling jenaka membuat Yoonoh meringis geli.

"Jangan bergurau." Yoonoh meninju pelan lengan kiri Youngho. "Mana bukunya?" Sambil mengerutkan bibirnya Yoonoh menadahkan telapak tangan kanannya pada Youngho. Persis seperti anak kecil yang sedang menagih hadiahnya.

Youngho tergelak. "Kau tidak sabaran rupanya." Kemudian mengeluarkan beberapa buku dari tas ranselnya.

"Bagaimana kalau dengan buku ini?" tanya Youngho sambil mengayunkan salah satu buku yang ukurannya sedikit lebih tebal dibandingkan dengan buku yang lain yang ia bawa.

Yoonoh mengulum senyum, jari-jarinya bergerak cantik. "Apa pun yang kau bacakan aku suka."

"Baiklah." Youngho mengusap lembut kepala Youngho, ia tersenyum dan mulai membacakan, "The odyssey-oleh Homer..."

"Apa itu odyssey?" sela Yoonoh penasaran.

"Perjalanan," jawab Youngho. "Ia mengatur sebuah perjalanan."

"Wow, menarik! Cepat bacakan!" titahnya tak sabaran. Beginilah Jung Yoonoh selalu antusias dengan buku baru.

Youngho terkekeh, lalu mulai membacakan halaman utama buku itu.

Youngho mengakui efek yang Yoonoh punya di dalam kehidupannya. Youngho bahkan tak mengerti kenapa terlalu patuh pada perasaannya.

Youngho seorang pelajar, sedang Yoonoh hanya buruh serabutan. Tak pernah mengenyam bangku sekolah. Apalagi membaca buku. Dia tak tahu. Bahkan dia tak pernah menyentuhnya.

JOHNJAENOLOGIWhere stories live. Discover now