7. Heartache

906 101 14
                                    

Jaehyun's Files

"Mau pergi kemana?"

Tanganku tiba-tiba dicekal membuat tubuhku yang semula nyaris keluar dari rumah kembali masuk ke dalam rumah, aku tidak bisa berkutik. Aku mungkin sudah berteriak dan meronta untuk melepaskan cekalan tangan ini, jika aku tidak mengingat siapa pemilik suara berat itu. Dia ayahku. Ayah kandungku.

Aku membenci fakta bahwa aku tidak sekuat anak laki-laki pada umumnya. Aku terlalu lemah.

Aku bisa merasakan kedua bola matanya menatapku bengis, dan tiba-tiba saja segala ketakutan dan debaran jantungku yang memburu semakin menjadi. Aku menatap ngeri pada pria di hadapanku, pria dengan janggut dipenuhi bulu-bulu halus yang beberapa sudah memutih. Aku tahu, ayah akan melakukan hal yang sudah setahun ini ia lakukan padaku.

Ayah mendekatiku, aku terdesak dan berjalan mundur ke belakang. Kakiku tiba-tiba gemetar, aku jatuh terduduk, kedua mataku sudah tidak bisa mengeluarkan air mata lagi. Aku terlalu terluka, hingga air mata pun terasa sakit untuk dikeluarkan.

"Jangan ayah─"

Pria yang kupanggil ayah itu menyeringai, paham betul dengan apa yang akan ia lakukan. Ia akan memukulku dengan stik golf-nya.

Aku menatap kosong kedua mata ayahku, sosok ayah yang dicintai mendiang ibuku. Ayah yang mengayomiku kini sudah tak ada. Berganti dengan pria paruh baya yang kejinya ingin menjual tubuhku ke pria hidung belang penyuka sesama jenis karena ia perlu uang untuk berjudi. Keluarga kami benar-benar sangat miskin.

Aku merasa muak dan jijik pada ayahku, dan terlebih pada diriku sendiri. Apa yang harus kulakukan? Aku tidak mungkin meminta bantuan Yuta, mantan pacarku. Aku tidak mau membiarkan pria sebaik Yuta berurusan dengan pria macam diriku.

Kekejian ayahku semakin menjadi. Dia terus-terusan memukul tubuhku dengan stik golf-nya. Wajahku berubah pias, aku berharap ada satu cara untuk menghentikan semua ini.

Aku menggigit bibir bawahku. Tidak! Sudah cukup!

Aku menendang selangkangan ayahku, membuatnya terjengkang ke belakang dan mengerang kesakitan. Aku berdiri susah payah, aku berlalu menuju pintu, membuka paksa kenop pintu itu. Tapi sialnya pintu itu telah dikunci.

"Mau kemana kau, homo sialan. Aku harus menjual tubuhmu nanti malam. Dan kau harus melayani tamumu! Kau tahu berapa banyak yang kuhabiskan untukmu dan biaya pengobatan mendiang ibu tuamu itu, HAH?! Dan bahkan biaya sekolahmu. Aku yang membayar semuanya. Jadi kau hanya perlu membayar semuanya dengan tubuhmu, mudah bukan?" ayah maju dan menarik lenganku, mencengkramnya kuat. Aku memberontak. Dengan sekuat tenaga aku menginjak kakinya dan aku berhasil melepaskan diri dari cengkramannya.

Ayah mengumpat kesal padaku. Aku tidak peduli lagi. Aku berlari ke dalam kamarku, mengunci pintunya, lalu mengambil ponsel. Aku mencoba menghubungi Johnny, pacarku, namun hanya voice mail yang menyahuti panggilanku. Aku berteriak frustasi. Aku berjalan menuju jendela, aku hendak kabur melalui balkon.

Aku berhasil mendarat dengan mulus. Sesegera mungkin aku berlari dengan kencang. Aku masih mencoba menghubungi Johnny sambil berlari.

"Kumohon, angkatlah."

Napasku tersenggal, mataku menatap sekeliling dan mengecek keadaan. Malam terlampau larut. Wajahku pucat pasi, dengan peluh yang membasahi. Sungguh aku sangat ingin menangis saat ini juga. Aku ingin berteriak kesal karena sedari tadi nomor yang kuhubungi hanya menyambungkanku pada voice mail. Aku mendengar ayahku berteriak memanggil namaku, aku menoleh ke belakang, kedua bola mataku melebar. Aku kembali berlari dengan sisa-sisa tenagaku. Aku berlari sangat cepat, hingga tak sadar ponsel yang kugenggam terjatuh.

JOHNJAENOLOGIWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu