Part 1 (Jingga)

59K 1.4K 37
                                    

Selamat membaca!? Perhatikan! Ini cerita pertama yang ditulis dengan sedikit kewarasan. Hanya sedikit waras. Tidak banyak. Thanks udah mampir. Bintangnya jangan lupa 😉

______&g&_____

Udara Subuh membuatku menggigil kedinginan. Duduk di teras dengan secangkir kopi dan selimut tebal membalut seluruh tubuh, sudah menjadi kebiasaanku sejak dulu.

Bulir-bulir embun mulai berjatuhan dari dedaunan yang hijau. Sileut kemerah-merahan di ufuk barat menandakan waktu Subuh akan segera berganti menjelma menjadi pagi hari. Ayam-ayam jantan berkokok riang memecah sunyi.

Sejenak, aku terdiam menikmati suasana pagi hingga perhatianku teralihkan oleh sileut cahaya ponsel. Benda itu tergeletak begitu saja di kursi kayu.

Sidikit bermalas-malasan aku membukanya, "Assalamualaikum Gus." Teryanta Notif pesan WhatsApp berbunyi. Dari nomor tak diundang rupanya.

"Waalaikumsalam." Aku menjawab seperlunya. Tanpa berniat untuk bertanya siapa yang mengirim pesan.

"Gus, ini nomor HP Uma Khadijah, yang kemarin malam di kajian. Ini dengan anaknya, Jingga. Uma pesan Gus, datang ke rumah setelah Magrib nanti ya, biar acara kajian untuk lamarannya ana cepat dimulai," tulisnya panjang lebar.

Aku mengerjap. Lamaran?

"Serius? Siapa yang mau lamaran?" Kuketik pesan balasan. 

Jujur aku sedikit terkejut. Masak iya?

"Gus. Kata Uma Gus, kan?" balasnya lagi.

Aku berjengit lalu menaruh mug berisi kopi yang ada dalam genggaman sebelah kiri.

Secepat kilat kuketik pesan balasan. "Enggak salah, Ning?"

"Iya Gus. Uma tunggu ba'da Magrib di rumah. Jangan telat katanya Gus. Bisa? Maklum ibu-ibu."

Aku kembali mengerjap. Menggosok mata yang tidak berkabut. Bercandanya tidak lucu.

Saking syok, pesan cuma ter-read ... deg-degan jadinya. Sekali lagi aku berpikir keras. Yang benar saja? Prank kok gak liat sikon? Benar-benar.

"Gus?" Aku sampai lupa si pengirim pesan misterius itu masih online.

"Tapi Akang belum siap Ning," balasku cepat.

"Siap apanya, Gus? Uma bilang tadi Gus sudah siap buat ngisi pengajian. Duh, Gus Kenapa, lagi sakit tah?"

"Pengajian?"

Aku seolah mengambang. Bicaranya terlalu berbelit-belit. Ribet seperti ular ngantri.

"Iya pengajian sebelum acara lamaran dimulai. Gus kenapa? Dari tadi balasannya enggak nyambung."

Pinter ngeles kayak bajaj. Yang ngeles tadi siapa? Mendengkus kesal, aku kembali membalas pesannya.

"Anti sendiri yang enggak jelas. Dari tadi muter-muter. Masuk gang keluar di jalan besar. Masuk lagi keluar di Monas. Jangan sampai ntar salah masuk rumah, Ning!"

"Dih. Siapa juga yang kesasar. Paling juga nyari jalan tikus kalau udah gitu."

Aku menggeleng pelan. Benar-benar absurd. Tak seharusnya aku meladeni nomor yang mungkin saja cuma numpang tenar.

Aku tak berniat membalas lebih lanjut. Sepertinya pembahasan kami sudah melebihi batas dalam bercengkrama sesama jenis. Namun pesan berikutnya yang dia kirim mengalihkan perhatianku.

"Bisa, kan?"

"Insyaallah. Tapi sejak kapan saya ngelamar kamu?"

"Ngelamar?"

GUS ZAIDAN (Mahabbah cinta Gus) Selesai✓ (Open Pre Order) Where stories live. Discover now