part 26

7.9K 497 131
                                    

Sedikit merasa bersalah setelah menancapkan belati di dada Kayla. Mungkin aku sedikit kasar dengan perempuan. Biarlah asalkan aku tidak main fisik sudah cukup. Seharusnya dia mengerti, tidak perlu mendekat lagi meskipun rasa bersalahnya begitu besar.

Aku mengusap kasar wajah dengan pikiran terus mengambang. Di satu sisi aku sedikit terkejut melihat reaksinya yang berlebihan seperti itu. Dan di sisi lain, aku sudah terlanjur membencinya lebih dari apapun.

Semoga saja Jingga tidak mendengar omonganku dan Kayla. Aku beranjak kembali untuk menemui Jingga. Pasti ia akan segera mencari ku karena acara akan segera dimulai.

Suara riuh di ruang tamu membuatku segera berlarian ke arah sana. Jantungku berdetak lebih keras dari biasanya. Apa yang terjadi? Mungkinkah Kayla membocorkan tentang kami di hadapan Jingga? Semoga saja bukan ya Tuhan.

Innalilahi ....

Aku membelalakkan mata melihat Jingga sudah bersimpuh di atas lantai dengan darah sudah membasahi seluruh bagian bawah gaun putih yang ia kenakan. Dan Uma mendekap erat istriku. Aku segera berhamburan ke arahnya, Uma menggeser posisinya dan memberikan Jingga padaku. Aku hancur, hancur melebihi apapun melihat Jingga seperti ini.

"Mi, ada apa Mi?" tanyaku mencoba menekan rasa sesak yang siap meledak. Tanganku gemetaran tak sanggup melihat Jingga. Air mata mulai meleleh menggambarkan sosok pria yang tak berdaya.

"Jingga keguguran ...."

Deg!

Uma tak lagi melanjutkan kata-katanya. Sulit kumengerti sebenarnya apa yang sedang kualami saat ini. Kuharap ini hanya mimpi.

Tepukan halus di bahuku menyadarkanku dari alam bawah sadar. "Anakku meninggal?"

Semua yang ada di ruang hanya menangis tersedu-sedu. "Panggilkan ambulance sekarang juga." desakku kepada paman yang sudah berdiri mondar-mandir tak karuan.

"Sabar, Gus. Sabar ... sebentar lagi sampai."

Umi mengelus punggungku dari belakang. Isak tangis terus menggema ke seluruh ruangan.

"Kenapa lama sekali, Bah? Mobil kita kemana? Jingga ... ya Allah. Bangun Ning. Apa yang terjadi sayang?"
Abah terdiam tak menyahut pertanyaanku. Mungkin beliau sama terpukulnya denganku.

"Tidak bisa Gus. Ning Jingga butuh penanganan khusus. Tidak serta-merta harus dibawa begitu saja," terang pamanku. Pernyataannya semakin membuat keningku berkedut .

Jingga sudah berada dalam kukunganku. Rasanya untuk berbicara dengan waras saja aku tak sanggup lagi. Bagaimana kalau sesuatu yang buruk terjadi? Astaghfirullah Ning. Apa yang harus kulakukan?

Tak berselang lama ambulance sudah terparkir di halaman rumah kami. Dengan sigap aku mengangkat Jingga yang sudah terkulai lemah tak berdaya.

Suami macam apa aku ini? Bahkan melindungi istri dan anak saja tak mampu. Di dalam mobil ambulance aku tak henti-hentinya berdoa semoga Jingga baik-baik meskipun calon anakku sudah pergi terlebih dulu.

"Bertahanlah sayang. Kamu wanita yang kuatkan? Gus janji setelah ini akan selalu melindungi kamu Ning." Racauku tak mendapat respon sama sekali darinya.

Mata bulat penuh tekad itu hanya terpejam menikmati setiap kegelapan yang menerpa dirinya. Tidakkah ia rindu padaku? Bukan matamu sayang. Kumohon!?

Aku bergeming menatap istriku dari balik pintu ruang ICU. Aku tidak bisa menemaninya di dalam sana. Aku tidak bisa merasakan sakit yang ia rasakan. Dan jika Tuhan mengizinkan limpahkan saja sakitnya untukku. Aku siap menanggungnya. Biarkan Jingga tertawa seperti dulu lagi.

GUS ZAIDAN (Mahabbah cinta Gus) Selesai✓ (Open Pre Order) Where stories live. Discover now