part 30

7.2K 442 25
                                    


Hari demi hari kulalui dengan Jingga bersamaku. Menikmati setiap perkembangan kecil si bayi dan mengenal Jingga lebih dalam. Terkadang hal-hal kecil yang kulakukan selalu membuatnya bahagia.

Hari ini adalah hari yang kutunggu-tunggu. Jagoanku akan lahir hari ini.

Disinilah aku sekarang, Jingga sedang dioperasi karena tidak bisa melahirkan normal. Awalnya ia ngotot ingin lahiran normal, tentu saja aku tidak mengiyakan permintaannya. Ini semua kulakukan agar jagoan kecil dan istriku baik-baik saja.

Seluruh keluarga besarku sudah berkumpul di depan ruang operasi. Jantungku tiba-tiba saja menggila, mengingat kejadian 2 bulan yang lalu.
Di mana aku pernah berdiri di depan pintu ini. Meskipun dalam dunia yang berbeda. Semoga saja tidak terjadi apa-apa denganya.

Aku larut dalam kekhawatiran yang membuncah. Banyak hal kupikirkan. Ragaku memang masih di sini, namun jiwaku seakan berkelana mencari titik terang dari bom waktu yang sewaktu-waktu dapat membunuhku.

Lamunanku teralihkan oleh suara derit pintu di hadapanku saat ini. Seorang dokter berseragam biru menghampiri kami.

Seketika aku merasa was-was, namun hanya sesaat setelah ia tersenyum kearahku. "Selamat atas kelahiran putra Anda, Pak!" tuturnya. Setelah sepersekian detik akhirnya aku bisa bernafas lega.

Alhamdulillah, terimakasih ya Allah.

"Gimana keadaan mereka, Dok?" tanyaku mengurai kekhawatiran.

"Alhamdulillah ...." Terdengar keluargaku menghembuskan nafas yang lega. Mereka tampak bahagia, begitupun denganku.

"Alhamdulillah, semua berjalan lancar, Pak. Anda bisa melihatnya setelah kami pindahkan terlebih dahulu. Sekali lagi, selamat ya, Pak. Putra bapak ganteng sekali," pujinya dengan wajah berbinar.

Siapa dulu bapaknya!?

"Terimakasih banyak, Dok."
Sang dokter kembali tersenyum. Dia lantas berlalu pergi.

Aku memandang kearah Umi dan Abi. Air mataku mengalir dengan sendirinya. Hari yang Kunanti-nanti telah tiba, kini aku menjadi seorang ayah. Ayah yang akan mendidik, menyayangi dan mencintai anaknya, seperti Abi dan Umi mencintaiku sewaktu kecil.

Aku memeluk mereka berdua. Menumpahkan kebahagiaan di pundak keduanya. Mereka memelukku erat, sesekali mengelus punggungku. "Umi punya cucu, Zai," racau Umi di sela-sela pelukannya.
Kalau tau begini, dari dulu sudah kuturuti keinginan Umi untuk menikah. Tapi harus dengan Jingga.

"Cucu Abi juga, Mi." Abi ikut menimpali kemudian terkekeh pelan.
Teryanta sebahagia ini menjadi seorang ayah.

Uma dan Abah hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah besannya. Terlalu bahagia.

Sejak tadi aku mencari keberadaan Gus Ilham dan kakak iparku. Kenapa mereka tidak datang? Mulutku rasanya gatal ingin bertanya. Namun kuurungkan. Mungkin mereka sedang sibuk.

🥀🥀

Aku segera beranjak menemui Jingga setelah dia dipindahkan. Disana, bidadariku sudah tergolek tak berdaya. Namun, tak membuatnya lemah sama sekali. Ia bahagia, sangat-sangat bahagia. Tergambar jelas dari raut wajahnya yang pucat pasi. Namun senyuman itu tak pernah pudar sedikitpun semenjak aku masuk.

"Ning, kamu baik-baik aja, kan?" tanyaku seraya mendaratkan kecupan di atas keningnya.

"Heu eumm ... dedek bayinya ganteng, kan, Gus?" Ekor matanya menunjuk ke arah bayi yang tengah terlelap.

Aku mengangguk. "Perpaduan ayah dan ibunya," sahutku membuat Jingga tersenyum lebar.

Berulangkali aku mencium keningnya. Dan aku sangat berterimakasih karena ia telah bersedia mengandung zhuriahku.

GUS ZAIDAN (Mahabbah cinta Gus) Selesai✓ (Open Pre Order) Where stories live. Discover now