part 15

13.3K 576 16
                                    

#Gus_zaidan 15

Ketika Gus sedang serius, sanggup untuk memporak porandakan hati kalian. Silahkan baca! Terdapat kisah seorang ahli ibadah yang membuatku merasa tidak ada apa-apanya di dunia ini.

=====

Di belakang laki-laki sukses pasti ada wanita yang selalu setia menemaninya dari nol. Seperti Abi. Beliau punya restoran siap saji terbesar di Salatiga. Dan sekitar 1 hektar tambak udang dekat dengan ponpes. Itu semua bukan Abi yang mengurus, mana sanggup Abi mengurus sebanyak itu. Beberapa santri kepercayaan Abi ikut mengurus tambak. Jadi, sejak aku masuk pesantren tidak perlu repot-repot memikirkan masalah biaya. Dan tidak perlu susah-susah payah mencari kerja ketika sudah menikah.

Rezeki itu Allah yang atur. Tidak perlu takut miskin! Kita punya Allah yang maha kaya. Teruslah menuntut ilmu. Begitu kata Abi.
Melihat ikhtiar Abi dalam memanajemenkan restoran. Ingin juga aku punya usaha sendiri seperti Abi. Jadi juragan ayam pun aku rela. Kata beliau tidak perlu. Aku ini anak satu-satunya mereka. Setelah punya anak, langsung diberi amanah untuk mengurus restoran.

Usia kehamilan Jingga memasuki 4 bulan. Bagaikan bodyguard aku selalu berada di sampingnya. Menyuapi makan, bahkan sesekali menengok dedek bayi.

Bapaknya rindu.

Sudah beberapa hari ini dia tidak ngidam yang aneh-aneh lagi. Entah dengan hari ini. Kurasa dia mulai rewel lagi, lihat saja! Wajahnya mengerucut sejak tadi.

Kuletakkan gawai di atas meja menghampirinya. Harap-harap ada yang bisa kulakukan untuk membuat mood-nya baik.

“Ning, kenapa?” tanyaku sambil mengelus puncak kepalanya.

“Lelah, Gus,” sahutnya lemas. Segera aku menariknya agar mendekat. Kukecup lembut keningnya. Perjuangan seorang ibu memang tidak mudah. 9 bulan mengandung, lalu berjuang antara hidup dan mati ketika melahirkan.

Yang dibutuhkan perempuan saat-saat seperti ini adalah perhatian orang yang dia cintai. “Uhibbuki, ya zaujati.” Aku mendekap erat tubuhnya setelah berkata demikian.

Jingga tenggelam dalam dekapanku. Tak ada lagi suara darinya, yang terdengar hanya dengkuran halus. 4 bulan berlalu sudah berat untuknya. Lalu, bagaimana nanti memasuki usia 9 bulan. Pasti akan sangat kelelahan.

“Terima kasih, sayang!  Jaga baik-baik anak kita,” lirihku biar pun tidak lagi mendapat tanggapan darinya.

Laki-laki yang tidak pandai menghargai wanita, berarti ia tidak pandai menghargai ibunya. Jingga adalah anugerah terindah dalam hidupku. Setelah keluarga. Sedetik pun aku tidak ingin lepas darinya.

Jingga kembali bergerak-gerak mengambil posisi ternyaman dalam pelukanku. Ia mendongak menatapku lantas mengeluarkan sepatah kata yang membuat hatiku menjerit.

“Gus, bagaimana kalau suatu hari nanti Jingga tidak bisa menemani Gus lagi?”

Aku semakin mengeratkan pelukan. Seolah-olah tidak ingin ia lepas dari jangkauanku. “Kamu mau tau doa apa yang Gus panjatkan di sepertiga malam?” Dia mengangguk lemah. “Surga dan kamu, Ning,” ucapku semakin menambah rasa penasaran di mata indahnya.

“Kenapa?”

“Bukan sebab keindahan yang membuat seseorang ingin tinggal di surga. Melainkan mereka yang kamu cintai ada di dalamnya. Tidak ada yang lebih indah selain bersama dengan orang kita cintai. Hidup abadi selamanya.”

“Lalu? Apakah kita bisa bersama di surga, Gus?”

“Biiznillah. Jadilah Khadijah yang ikhlas. Khadijah yang selalu bersama Gus.”

“Maka Gus harus menjadi Muhammad yang sabar, Muhammad yang sabar.”

Jingga menggenggam erat tanganku. Tersirat kekhawatiran mendalam dari dirinya. Berharap tidak akan  ada hal buruk yang terjadi. Karena perempuan sangat sukar ditebak. Hanya perlu mengerti dengan keadaannya.

GUS ZAIDAN (Mahabbah cinta Gus) Selesai✓ (Open Pre Order) Where stories live. Discover now