Part 18

10.2K 669 43
                                    

GAISS ADA YANG MASIH RINDU DENGAN SI GUS? KALAU ADA JANGAN LUPA VOTE DAN KOMEN. KARENA MOOD PENULIS TERGANTUNG TANGGAPAN PEMBACA.

Selamat membaca!

======

"Ning buka pintunya!" pintaku memelas untuk yang kesekian kalinya.

"Enggak dikunci!" sahutnya dari dalam.

Aku menghela nafas berat mengingat hal ini. Kacau, mengusik tidur nyenyakku semalaman. Bagaimana kalau ia benar-benar marah dan menginginkan hal yang tidak-tidak? Kekhawatiranku tak beralasan hingga memberanikan diri untuk masuk.

"Gus masuk Ning." Izinku terlebih dulu. Tubuh mungilnya meringkuk di balik selimut. Perlahan aku mendekat dan memeluknya dari belakang. Dengan hati-hati aku membuka suara.  "Agak gendutan ya sekarang?" Secara spontan kalimat itu keluar dari mulutku tak bisa ditahan. Bodoh!

Jingga berbalik dan menatap lama kearahku. Merasa sangat canggung dengan situasi sekarang ini. "Memangnya ibu hamil bisa terlihat kurusan?" ketusnya seraya memindahkan tanganku dari atas pinggangnya. Salah lagi?

"Ning cemburu?" Aku balik bertanya mengabaikan nada bicaranya yang tidak bersahabat.

Bukannya menjawab ia malah balik bertanya lagi. "Untuk apa?" 

"Cemburu itu wajar. Tapi jangan berlarut-larut! Enggak bagus untuk kesehatan."

"Siapa yang cemburu?" tanyanya berusaha menutupi nyala api kecemburuan. Kalau enggak cemburu, terus kenapa semalaman
Uring-uringan terus?

"Heumm ... enggak cemburu? Berarti boleh donk Gus punya istri lagi?"

"APA?!" pekik Jingga tak terima. Sudah jelas ia cemburu. Namun tidak mau mengakui. Perempuan terkadang aneh. Matanya nyalang menatapku tajam. Gurat kemarahan terpancar jelas. Aku semakin tertarik untuk menggodanya. Setiap hari bersamanya belum pernah aku melihat Jingga semarah ini.

Detik berikutnya dia menangis. Lagi? Aku berinsut mundur menjernihkan pikiran. Tanpa pikir panjang secara spontan tanganku menarik lengan dan membawanya dalam pelukan. Allahuakbar! Aku biang keroknya malam ini. Kalau Umi tau tamat riwayat perjalanan KK-ku. "Sstt ... jangan nangis? Gus cuma bercanda," kataku sambil mengusap lembut kepalanya dan menghalau kegelisahan yang sejak tadi mendera.

Di sela-sela pelukan hangat yang kuberikan Jingga mendongak dengan mata sembabnya ia menatapku. "Jangan jadikan Jingga sebagai pengganti ...," ia menjeda kalimatnya untuk sesaat berusaha meminimalisir rasa yang sedang berkecamuk di dalam hatinya. Terlihat dari caranya menghembuskan nafas sesak karena menangis. Mendengar ucapannya seketika membuat hatiku perih. Sejauh ini aku belum bisa menjadi suami yang baik untuknya."Jingga bukan pengganti dari siapapun," lanjutnya masih setia dalam pelukanku.

Dadaku bergerak naik turun mendengar ungkapannya. Kuakui memang aku yang bersalah di sini. Menjadikan seseorang sebagai pengganti dari yang lain itu terdengar ironis. Kebohongan akan cinta yang tak memiliki kepastian. Siapa yang sanggup bertahan? Berusaha untuk mencari pengganti luka hati yang sudah lama menganga. Seharusnya Jingga menjadi satu-satunya ratu bermahkota permaisuri yang menduduki tahta di hatiku.

Bukan bermaksud untuk memikirkan perempuan lain. Terkadang cinta butuh jeda. Kehadiran cinta masalalu sungguh telah mengusik ketenangan hatiku. Terkadang aku berpikir jernih. Seperti air yang diendapkan dalam suatu wadah. Seberapa bersih dan jernih airnya tetap akan keruh dan perlahan membusuk jika diendapkan terlalu lama. Biarkan air yang telah mengendap itu mencari celah untuk mengalir dengan sendirinya. Jangan lagi ditahan?

Dengan satu hembusan nafas aku memilih mengakhiri semua ini dengan mengungkapkan perasaanku padanya selama ini.

يَا حَبِيْبَتِيْ أُذْكُرْنِي فِى دُعَائِكَ لِأَنَّنِيْ أَذْكُرُكِكَثِيْرًا فِي" نَهَارٍ وَلَيْلَةٍ"

(Duhai kekasihku: ingatlah aku dalam do’amu, karena aku selalu mengingatmu dalam siang dan
malamku).

Kalimat yang telah lama kupendam dan kususun sedemikian indah. Akhirnya kubiarkan ia bebas agar tidak lagi membusuk.

Mendengar ucapanku Jingga semakin mengeratkan pelukannya. Was-was? tentu saja, mengingat ia tengah hamil besar membuatku kesulitan untuk bertindak lebih padanya.

"Berjanjilah padaku!" rengeknya kemudian.

"Tentu. Janji apa?"

"Jadilah Ali bin Abi Thalib yang setia dan tidak pernah menduakan Fatimah."

"Janji dibuat untuk ditepati. Jika ingin seorang Ali bin Abi Thalib yang setia maka jadilah Fatimah yang sabar dan ikhlas."

Mendengar penuturanku barusan Jingga kembali memperlihatkan senyum merekahnya. Meskipun terlihat ane setelah menangis sesenggukan langsung tersenyum lebar. Semudah itu? Harusnya dari dulu kukumpulkan sebanyak-banyaknya kata-kata manis untuk merayu.

Dan ... aku merasa seperti sastrawan Arab sekarang.

Kata-kata itu muncul tanpa kuminta. Biasanya aku belajar dari syaikhuna Mbah Google terlebih dulu sebelum berkata semanis ini. 

Daripada berlarut-larut dalam keadaan seperti ini. Lebih baik aku segera mengubah topik pembicaraan. Berharap ia akan tertarik dengan usulku. "Nanti malam, Jingga mau jalan-jalan enggak?"

"Kemana?"

"Kemana aja boleh. Anggap aja sebagai permintaan maaf. Sudah lama kita enggak jalan bareng."

Sejak Jingga hamil, jarang sekali aku mengajaknya keluar bahkan sekedar jalan-jalan. Dia pun tak pernah menuntut untuk itu.

Jingga mengangguk mengiyakan. Segera aku beranjak untuk menyiapkan mobil dan dompet yang tebal misalnya. Sesekali ajakin istri untuk menghalau kejenuhan. Dah lah yang jomblo buruan nyari pasangan! Malam Minggu gaiss ane mo jalan-jalan dulu. Keliling komplek.

GUS ZAIDAN (Mahabbah cinta Gus) Selesai✓ (Open Pre Order) Where stories live. Discover now