Part 20

10.3K 563 29
                                    


___________
___________

"Maaf mas saya salah orang!" kataku sambil tersenyum sekaligus mundur alon-alon menghindari kerumunan orang.

Para warga hanya tersenyum penuh arti melihat kearahku. Biarkan saja.

Masih dalam keadaan setengah panik dan sekaligus malu aku kembali mencari Jingga sampai di tempat semula kami berpisah.

Sampai di sana Jingga sudah duduk manis soalah tak berdosa. Jengkel, kesal, khawatir, sekaligus lega. Itulah yang kurasakan, awas saja akan kuhukum dia dua kali lipat.

Aku segera mendekat kearahnya. "Habis dari mana?" tanyaku memasang tampang galak.

Ia terlihat gusar. Dari senyum sekarang berubah mengerucut takut. "Maaf Gus! Tadi gak sengaja ketemu sahabat lama di sana." Tunjuknya ke arah bahu jalan.

Aku mengernyit dengan tatapan mengintimidasi seakan dia adalah pelaku kejahatan. "Terus?"

Jingga menunduk dalam-dalam merasa bersalah. Termasuk kewajiban seorang istri adalah meminta izin terlebih dahulu kepada suami sebelum bepergian. Ia masih terdiam membisu. Sebenarnya aku tidak benar-benar marah padanya karena rasa khawatir lebih mendominasi di sini.

"Ingatkah nasihat Abah? Izin terlebih dahulu kamanapun pergi."

"Iya Gus."

Segera kubawa Jingga dalam dekapan melihat matanya mulai berkaca-kaca
"Ssstt ...."

"Jingga enggak sengaja Gus."

"Jangan diulang!" Tugasku seraya mengusap lembut punggungnya. Ibu hamil kebanyakan drama. Perasaan wanita sangat halus dan sulit diterka kebenarannya.

Sekilas terbesit rasa ingin tahu. "Memangnya siapa?"

"Mika," sahutnya mendongak dari dada bidang yang dia jadikan tempat sandaran.

"Laki-laki atau perempuan?" Aku lanjut mengintrogasi dan menggodanya. Dan dengan dengan wajah polos Jingga menyahut,
"Laki-laki."

Jari-jari kecilnya semakin mempererat pelukan. Aku bergeming. "Siapa namanya tadi?"

"Mika Gus."

Senang betul dia menyebut nama si Miki itu di hadapanku. Apa bagusnya dia? Ck. Hening sejenak tercipta antara kami. Aku berpikir keras kenapa Jingga banyak sekali kenalan laki-laki. " "Menyebalkan," gumanku meluapkan kekesalan.

Jingga kembali mendongak matanya terlihat kecil Karena menyipit. "Apanya Gus?" Dengan pasrah aku menghembuskan nafas yang sejak tadi tertahan.

"Enggak ada," sahutku singkat.

"Terus? Apanya yang menyebalkan?"

Kamu Ning yang menyebalkan. Kamu! Hatiku berteriak tak terima.

"Gus lagi mikir mau menjalankan Sunnah kok susah amat ya?" tanyaku mengalihkan atensinya.

Jingga mengernyit heran. "Sunnah apanya?"

Kubalas dia dengan senyum jahil. "Sunnah yang empat," jawabku dibalas delikan tajam dari Jingga.

"Gus bilang apa?" balasnya pura-pura tidak tahu. Tidak lagi dalam keadaan berpelukan Jingga buru-buru melepas pinggangku.

"Sunn--"

"Pulang sekarang," cetusnya dengan nada emosi seraya beranjak pergi.

Belum sempat ia pergi aku terlebih dulu menahan tangannya. "Mau kemana?"

Nafasnya memburu naik turun tak beraturan.

Semarah itukah dia? Padahal aku hanya berguyon. Wanita memang sangat sensitif jika menyangkut masalah poligami.

Jingga tak mengindahkan pertanyaanku.

"Semesta hanya punya satu matahari dan bulan. Begitu juga dengan Gus hanya punya satu hati yang tidak pernah terbagi lagi seperti benda langit yang memancarkan cahaya ke segala penjuru dunia. Begitupun dengan dahaga yang sudah lama Gus pendam selama ini. Hanya mampu menghilang karena hadirnya Ning. Jangan marah lagi ya! Gus hanya bercanda."

Jingga mengulum senyum mendengar penuturanku. Sudah seperti pengarang puisi aku sekarang. Entah sejak kapan sepuitis ini.
Jadi? Jingga belum menjelaskan siapa itu Mika. Katanya laki-laki dan itu membuatku meradang. Seharusnya aku yang marah bukan Jingga.

"Jadi ... Mika itu siapa?"

Bukannya menyahut Jingga malah cengengesan.

"Heumm?" tanyaku sekali lagi.

"Perempuan Gus. Mikayla namanya." Terang Jingga entah apa maksudnya menipuku.

Segitu aja dulu. Besok ubdate lagi oke...

GUS ZAIDAN (Mahabbah cinta Gus) Selesai✓ (Open Pre Order) Donde viven las historias. Descúbrelo ahora