💞 Pengakuan Pak Guru 💞

1.2K 84 3
                                    

Ingatan Seokjin melayang pada waktu pertama kali ia merasakan takut kehilangan seseorang.

Saat itu, Ayahnya terkulai lemah di bangsal rumah sakit, bahkan hampir dinyatakan meninggal karena kecelakaan mobil yang mereka alami kala ia masih berusia sepuluh tahun. Beruntung Mama beserta adik dan dirinya selamat.

Dunia Seokjin kecil hampir runtuh kala mamanya mendekap erat dirinya yang menangis dalam diam bersamaan menenangkan sang adik yang tak berhenti mengurai air mata, namun kala garis kehidupan kembali terlukis di tempatnya, bersamaan dengan wajah para dokter yang menangani menghela napas lega, Seokjin merasa dunianya kembali hidup.

Perasaan seperti itu tidak pernah lagi ia alami, tak pernah merasakan bagaimana ketakutan akan kehilangan seseorang lagi sampai pada hari ini dimana ia tak menemukan seorang gadis yang berusaha ia jauhi, namun gagal.

Chaeyoung absen hari ini, lagi. Tak ada tanda-tanda kehadiran gadis itu sampai bel pulang berbunyi, bahkan Seokjin sudah beberapa kali menghubunginya namun gagal.

Dan entah dari mana perasaan kalut itu datang, apa yang ia rasakan kali ini sangatlah tidak nyaman mendekati takut kehilangan.

"Pak Seokjin?"

Langkah Seokjin menuju parkiran terhenti untuk mengalihkan atensi dari gawai di genggaman, berbalik dan mendapati Pria berlesung pipi dengan kacamata bertengger di hidung bangir nya. Pak Namjoon.

"Ya?"

Dengan senyum kelewat manis hasil dari cacat wajah yang menawan itu, Pak Namjoon berujar santai,

"Kepala sekolah ingin bertemu."

💞

Chaeyoung tak tahu harus mengatakan apa saat harus bertemu kepala sekolah tua yang sangat ia benci itu.

Namun keberadaan Seokjin yang terancam, membuat ia terpaksa turun tangan mendatangi si tua bangka yang perlu diingatkan perihal umur.

Jadi, di sinilah ia berada, duduk menghadap sang kakek dengan meja kebanggan sebagai kepala sekolah menjadi penghalang.

"Aku akan turuti semua kemauan kalian, asal kemauan ku juga dituruti."

Kalimat yang bisa ia keluarkan setelah lama bungkam. Atau lebih tepatnya mengumpulkan keberanian.

Percayalah, gadis itu mungkin murid bermasalah, tapi ia tak pernah sekalipun mencari masalah pada keluarganya sendiri, meskipun yang ia sebut keluarga merupakan sumber masalahnya. Pun sang kakek yang memang sedari tadi menunggu kalimat keluar dari mulut cucunya, hanya menarik satu kurva keatas.

Tersenyum meremehkan.

Namun begitu, vokal nya kala bertanya masih terdengar lembut, sarat akan kasih sayang orang tua.

"Kenapa kakek harus menuruti kemauan kamu? Bukannya apa yang kakek dan orangtua kamu lakukan adalah yang terbaik?"

Chaeyoung tersenyum sinis, menatap tak percaya pada netra jelaga sang kakek.

"Omong kosong," desis nya pelan, "kalian tahu apa yang terbaik buat aku?" tanya nya meremehkan.

Chaeyoung membuang pandangan kosong pada udara, tak sudi menatap netra jelaga di balik bingkai tebal yang sudah ia sumpahi tak akan bisa membuatnya jatuh untuk kesekian kali pada tatapan teduh yang menipu itu.

Pria tua yang seumuran dengan bi Ana itu hanya bisa tersenyum jumawa. Kendati terkejut bukan main karena baru pertama kali ia mendapat pemberontakan dari cucu penurutnya. Namun sebisa mungkin ketenangan dan kewibawaan bekerja pada tempatnya. Nada vokal yang tetap tenang, kala ia kembali bersuara

My Pedopil Teacher ✔Där berättelser lever. Upptäck nu