Sebuah Cerita

19 4 0
                                    

Moulyn masih didalam selimut berwarna biru pastel, dengan AC yang dinyalakan dan alunan musik yang terdengar dari speaker-nya. Suasana hujan yang membuatnya menjadi malas untuk turun dari kasur, apalagi jika membuka selimutnya. Rintikan hujan yang masih terdengar dan suara mengobrol juga tertawa yang sesekali juga terdengar dari lantai bawah. Membuat Moulyn tersenyum simpul dengan hape yang dipegangnya.

Gadis itu bangun dari tidurnya, sekedar duduk, membenarkan rambut lurusnya yang panjang dan membenarkan kacamatanya juga. Dia melihat jam dihape, sudah jam tujuh malam, membuatnya mengerti.

"MOU? AYO MAKAN DULU, AYAH UDAH NUNGGUIN.."

Moulyn mendengar teriakkan dari sang Mama, gadis itu langsung bangun dari kasurnya dan mematikan musik dispeaker-nya yang tengah menyetel lagu One Last Time milik Ariana Grande.

Moulyn turun kelantai bawah, langsung menuju kedapur. Sudah ditunggu oleh orang tuanya, juga adik perempuannya yang baru berumur tiga belas tahun dengan pakaian tidurnya yang berwana hijau dengan motif beruang coklat. Arif, Ayahnya, menyambut Moulyn dan segera memberikannya piring.

"Makasih, Yah," kata Moulyn yang tersenyum sembari duduk disamping Mocha, adiknya.

Sedangkan Sarah, Mamanya, memberikan nasi dan menyodorkan lauk untuk kedua anaknya juga sang suami. Moulyn hanya mengambil ikan juga sayur, tak berniat untuk makan. Raut wajahnya itu bisa dikenali, langsung dilontarkan pertanyaan dari Ayahnya.

"Kamu kenapa sih, dek?" tanya Ayah sambil tersenyum dan memasukkan sesuap nasi, membuat Moulyn tersadar dan menatap kearahnya Ayahnya, hanya dibalas senyuman juga gelengan.

"Lagi marahan sama si Bambang ya?" goda Mama, menjadikan Moulyn langsung menjawab tidak dengan cepat. Orang tuanya saling melihat, langsung tersenyum dan geleng-geleng kepala.

"Tadi Mama liat dia main ke Yudis, kayak ngambek gitu. Terus liat kamu yang kaya gini, Mama kira kalian lagi marahan. Kayak dulu," jawab Mama yang ingin ber-nostalgia.

"Emang dulu Mas Bambang kayak gimana?" tanya Mocha ingin tahu, sementara Moulyn merutuk dirinya sendiri dalam hati. Kesal karena adiknya tak bisa diajak kompromi, padahal diam-diam tahu.

"Ya, gitu. Sebelum kamu umur lima tahun, kakak mu itu suka banget main sama Mas Bambang, Mas Yudis juga. Kalo lagi hujan, main hujan-hujanan. Tapi pas ada petir, mereka berdua yang nangis, sedangkan kakak mu nih, malah asik terus main hujan-hujanan," jawab Mama sambil tertawa, membuat Moulyn malu dan menyesal, mengapa juga saat itu ia main hujan-hujanan hanya memakai kaos dalam dengan celana pendek.

"Emang jagoan tuh kakak mu, tapi sekarang malah lembek gini." Ayah meneguk minumannya, langsung diiringi tawa oleh Mocha, sementara Moulyn langsung menginjak kaki adiknya, membuat Mocha bungkam dan kembali makan dengan tenang.


"Lucu banget liat kamu waktu dulu tuh, Mou. Asik gitu main sama mereka berdua. Kalo orang tuanya Yudis belum dateng, nanti dia nangis ke Mama, minta makan sama minum, terus si Bambang ikut-ikutan, tapi kamu nya malah marahin mereka, bilang kalo cowok tuh nggak boleh lembek. Aduh lucu ya.." Mama hanya tertawa, sedangkan Ayah geleng-geleng kepala melihat putri tertua-nya.

"Tapi kamu beneran nggak ada apa-apa sama Bambang? Nggak lagi marahan, kan?" Mama mulai ke intinya, sudah diduga oleh Moulyn bahwa Mama nya akan sepenasaran ini. Memancing dengan menceritakan masa lalu, kemudian bertanya, membuat Moulyn jadi luluh dan dihantui penasaran begini.

Moulyn menghela nafas, menyenderkan tubuhnya kekursi dan menaruh sendoknya. Mocha dan kedua orang tuanya saling menoleh. Moulyn menunduk, memberanikan diri.



"Aku.. bingung aja. Kenapa.. Bams harus nanggung semuanya sendirian? Dia.. belum ada tujuh belas tahun, tapi lukanya selalu pergi.. bahkan kalo dia sampe tiga puluh tahun, empat puluh.." Moulyn mengatakan dengan nada yang lirih, begitu dalam, benar-benar bingung.

1:31 AM (BamBam - Momo) 1.0 ✔Where stories live. Discover now