Merasa Aman

10 2 0
                                    

Moulyn menghela nafas untuk meredakan isak tangisnya. Suasana malam yang dingin dan rumahnya yang sepi. Orang-tuanya belum juga pulang, Moulyn benar-benar ketakutan disini. Ingin rasanya menangis dipundak Bamantara dan mendengar perkataan darinya yang menjadi penenang bagi Moulyn. Iya, gadis itu ingin dipeluk oleh Bamantara agar tubuhnya menjadi hangat.

Selimut putihnya ia naikkan lagi keatas lehernya, menyelimuti semua tubuhnya. Ia sibuk melihat langit-langit dinding, mencoba menahan tangis lagi. Sudah pukul setengah satu pagi, tapi ia masih sendirian dirumah. Tak pernah selarut ini ia menunggu keluarganya untuk kembali kerumah. Ini benar-benar sudah melewati batas. Apa mereka menginap? Moulyn mengambil hape, menghidupkannya setelah ia matikan seharian. Setelah terbuka, beberapa notifikasi langsung masuk. Bahkan dari sembilan panggilan tak terjawab dari sang Ayah, enam belas panggilan tak terjawab dari Bamantara jam dua belas tadi. Tunggu, kenapa?

Terdengar suara ketukan pintu dengan ritme yang cepat dan keras. Kemudian suara Bamantara yang memanggil-manggil nama Moulyn dengan keras, berharap Moulyn akan mendengarnya. Gadis itu kembali turun kebawah, langsung membuka pintu dan melihat Bamantara yang terengah-engah sembari memegang hape-nya disamping telinga. Tak lama, laki-laki itu langsung memeluk Moulyn dengan erat. Moulyn tak mengerti. Setelah dirinya dijatuhkan oleh Bamantara sampai membuatnya menangis, kini laki-laki itu malah menerbanginya kembali dengan cara memeluknya seperti ini?

Gadis itu mendorong pelan tubuh Bamantara dari dekapannya, memundurkan langkahnya pelan dan menatapnya denga ekspresi bingung. "Lo.. kenapa?" tanya Moulyn tak mengerti dengan sikap Bamantara hari ini, aneh.

Bamantara menghembukan nafas dengan berat. "Dengerin gue dan jangan kaget. Oke?" Ia mengatakan kalimat itu dengan nada yang lebih lembut, benar-benar tak seperti biasanya. Sementara Moulyn langsung mengangguk, berusaha bersikap tenang seperti yang disuruh oleh Bamantara.

"Nyokap lo...."

Bamantara menghela nafas lagi.

"Nyokap lo kecelakaan. Gue nyoba nelfon lo, tapi nggak aktif."

***

Moulyn terus berdiri didepan pintu besar, menangis tersedu-sedu setelah mendengar kabar yang menyakitkan. Gadis itu ketakutan jika saja tak ada Bamantara disampingnya yang merangkul pundaknya, sembari mengatakan kalau semuanya tak akan terjadi apa-apa. Tungkai kakinya benar-benar melemas, mendadak tak tahu bagaimana caranya untuk berhenti menangis.

Padahal, Mama selalu bilang bahwa Moulyn adalah perempuan yang kuat, mampu bertahan dikala badai menghadang. Pun Ayah yang selalu mengatakan bahwa Moulyn adalah seorang peri yang mampu membahagiakan semua orang hanya dengan kehadirannya. Tapi kini, ungkapan-ungkapan dari mereka tak bisa membuat pikiran Moulyn jernih. Yang ia pikir, Moulyn hanyalah Moulyn. Gadis kecil yang selalu ketakutan.

Harusnya, ia saja yang menggantikan posisi adiknya, Mocha. Karena ia pikir, Moulyn tak akan pernah bisa hidup tanpa Mama. Mama yang selalu membuat Moulyn untuk menjadi lebih kuat dibanding hari kemarin. Mama yang selalu menenangkan Moulyn disaat gadis itu mulai rapuh. Pun Mama yang menuntun Moulyn disaat gadis itu kehilangan arah.

Atau kalau bisa, harusnya Moulyn saja yang pergi meninggalkan dunia ini. Rasanya seperti ia tak pernah berguna jika hidup didunia ini. Moulyn benar-benar tak kuat, ia sudah lelah.

"Kita duduk dulu, Mou. Mereka bakal baik-baik aja." Sekali lagi Bamantara mengajak Moulyn untuk duduk dikursi, sudah setengah jam ia menunggu berdiri didepan pintu ruang operasi, tak henti-hentinya menangis sembari memanggil Mama dan Mocha.

Dan kini, gadis itu menyerah. Ia memilih duduk yang diikuti Bamantara. Moulyn menundukkan kepalanya, mencoba berhenti menangis tapi tetap tak bisa, ia benar-benar lelah.

"Harusnya.. gue aja yang pergi dari dunia ini."

Bamantara disebelahnya memegang kedua tangan Moulyn, membuat gadis itu merasakan kehangatan dan menoleh. "Nggak boleh ngomong gitu."

"Harusnya bukan Mocha yang disitu, harusnya gue."

Bamantara menghembuskan nafas berat, lalu bangun dari duduknya dan berlutut didepan Moulyn, membuatnya bisa melihat seluruh wajah Moulyn yang tengah menunduk.

"Gue ada disini, Mou. Tenang, oke?" Jujur, sebenarnya ia pun tak tahu bagaimana caranya menenangkan Moulyn. Ia pernah berada diposisi Moulyn, sedih rasanya, bahkan bekas luka itu masih tercetak mulus, tak pernah pergi dari kehidupannya. Bamantara tahu betul, bagaimana kehidupannya yang hancur dengan perlahan, ia tahu betul. Tapi ia tak tahu bagaimana caranya menenangkan.

"Kalo mereka pergi, siapa yang mau jagain gue? Nggak ada. Bukan lo." Moulyn masih menangis dengan suara parau-nya, benar-benar takut.

"Mereka nggak akan pergi, Mou. Lagian, Moulyn itu kuat, kan?" Iya, yang bisa Bamantara lakukan hanyalah memastikan Moulyn. Memastikan bahwa semuanya akan baik-baik saja, walau ia juga tak tahu.

Moulyn menggeleng pelan. "Gue nggak pernah jadi kuat, Bams..." Suara paraunya tertahan, kali ini ia tak bisa lagi menyembunyikan keluh kesahnya. "Gue selalu takut.. Gue takut disaat kalian bilang kalo gue itu kuat. Nyatanya, gue itu cuma anak kecil yang nggak tahu apa-apa..." Tangisnya makin pecah, ia menutup wajah sembabnya dengan kedua tangan, tak mau dilihat oleh Bamantara dalam keadaan seperti ini.

Laki-laki itu berdiri, mencondongkan badannya kedepan Moulyn dan memberikan pelukan hangat. Barangkali dengan ini, bisa menghangatkan Moulyn walau tak seberapa. Tapi rasanya, bagi Moulyn, itu hangat. Meskipun ia masih dibaluti pikiran buruk, tapi begitu Bamantara memeluknya, seakan semuanya menjadi tenang. Tidak, bahkan sebelum itu. Sebelum Bamantara memeluknya. Tapi ketika Bamantara selalu disisinya, gadis itu merasa aman.

1:31 AM (BamBam - Momo) 1.0 ✔Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin