1. Malam

124 39 5
                                    

Bermimpilah bersama hati. Rasakan setiap embusan napas yang membuatmu hidup. Hadapi dengan mengingat Tuhan tidak pernah tidur.

***

Awal gadis itu menulis menggunakan sudut pandang orang pertama sebagai tokoh utama. Namun rasanya kurang cocok, akhirnya dihapuslah semuanya dan mulai kembali dengan sudut pandang orang ke tiga serba tahu.

Rasanya jari jempolnya seakan ingin patah saja. Sejak awal mulai maghrib hingga kini pukul sepuluh lewat dua puluh tujuh menit, tangannya masih sibuk memainkan ponselnya.

Malam dingin tidak menjadi penghalangnya membuat sebuah karya, membantu orang yang haus akan ilmu, dan menanggapi teman-teman tersayangnya di samping kesibukkannya menjadi siswa sekolah semester akhir.

"Ternyata enggak gampang ya, jadi moderator grup penulis itu. Harus punya nyali besar, pikiran yang encer, dan sikap yang ramah. Belum lagi jika bertambah munculnya masalah, matilah aku," gumammya saat usai memandu jalannya materi kepenulisan yang diadakan di grup whatsapp.

Memang, baru-baru ini dia memutuskan untuk menjadi sekretaris umum di sebuah grup literasi. Entah ini keputusan yang baik atau malah sebaliknya.

"Hufftt ... kalau boleh sekarang juga gue berhenti."

1 mesengger

"Siapa sih? Hah? Iki?"

Dengan malas, dia membuka pesan dari sahabat baiknya itu.

Iki : "Cie yang sibuk. Wkwk."

Rena : "Apaan sih, males sibuk-sibuk gini. Lo tau kan, gue gak suka kesibukkan."

Iki : "Lah lagian siapa juga yang nyuruh lo jadi sibuk?"

Rena : "Ya, gak ada sih. Ah bodo amat lah."

Iki : "Wkwk, seneng nih gue kalo lo lagi ngambek gini. Eh, gue mau nanya nih, sekarang jam 8 malam atau pagi?"

Membaca pesan yang terakhir dikirimkannya, membuat dahi gadis ini mengerut. Kenapa dia menanyakan hal itu? Seperti tinggal beda planet saja. Atau dia sedang di belahan bumi bagian mana?

Rena : "Malam."

Iki : "Minggu, kuterus mandi.
Tidak lupa mengosok gerigi.
Habis itu kuterus makan.
Eh gigi palsunya copot semua. :)"

Rena : "Ngakak, sumpah! Mood banget sih lo. Wkwk."

Cuma dia, cuma dia yang bisa bikin gadis bernama lengkap Renata Lita ini tersenyum senang.

Gadis kelahiran enam Desember dua ribu dua silam ini merasa hidupnya tiada guna. Semua kesetiaan dan pengorbanan yang dilakukan kepada orang-orang tersayangnya rasanya percuma dan sia-sia.

Rena : "Tau gak? Gue bacanya sambil bernada. Hahaha."

Iki : " Wkwk, sama."

Percakapan itu diakhiri saat sesaat kemudian pesannya tak terima balasan lagi. Entah ke mana anak itu, datang tiba-tiba, pergi pun tiba-tiba sesuka hatinya. Seakan tugasnya menghiburku telah usai, ia pergi. Dasar lekaki.

Renata ingin menulis kisahnya, kisahnya selama seharian ini di hari ahad. Hari ahad yang tumben sekali ayahnya masuk kerja. Menuliskan ibunya, juga adik tersayangnya yang kini menginjak bangku kelas tiga sekolah dasar. Diperkirakan, usianya sembilan tahun. Entahlah, aku tidak terlalu memikirkannya.

"Sudah lah, aku muak dengan semua itu." Tak ingin lagi rasanya menuliskan semua ini.

Banyak orang yang bilang gaya berbahasa yang digunakan terlalu kaku. Tapi apa salahnya? Ini hidupnua. Berbahasa baku tak akan membuatnya masuk penjara, ataupun membuatnya menjadi artis terkenal. Dia nyaman, selama itu tidak merugikan orang lain, maka sah-sah saja dilakukan.

"Kak, Rena kangen sama Kakak. Gak seharusnya Rena minta ketemu sama Kakak. Gak seharusnya semua ini terjadi," sesalnya. Raut wajahnya berubah sedih, matanya mulai berkaca-kaca tak mampu membendungnya.

***

"Belum kasih kabar juga? Ke mana sih dia?"

Dua jam sudah Rena online whatsapp untuk bisa mendapatkan kabar dari seseorang yang disayanginya. Namun nihil. Semua tak ada hasil.

"Hufftt ... daripada Mama sebentar lagi bawel marah mending off aja deh, gak guna juga gue on."

Segera Rena mematikan ponselnya. Mati total, dan dia menininggalkannya dalam keadaan ponsel dicas.

"Tapi gue kepikiran, ya ampun. Kenapa sih, gue gak bisa lepas dari dia? Hah?" ucap Rena seraya menempelkan tangan kanannya di dahi sedangkan tangan kirinya bergelayut di pinggang indahnya.

Memikirkan semua ini membuatnya stress. Semua buntu, tak ada akhiran. Namun sayang, matanya belum bisa diajak kompromi. Dia belum mengantuk.

Rasa di rasa hatinya begitu sakit. Dia tak tahu lagi bagaimana cara menghadapi lelaki macam itu. Rutinitas malam Rena sebelum tidur adalah menangis bersama semua pikiran yang diharapkan mampu untuk menetralisir semua masalah yang terjadi hari ini dan kembali dengan wajah ceria di esok harinya.

***

Hari ini bukanlah hari libur. Rena harus melakukan banyak kegiatan di hari ini. Humm ... andai saja dirinya memiliki waktu santai selama satu hari. Andai saja.

Tiba-tiba saja Rena teringat kejadian semalam. Setengah tuli gadis itu menunggu kekasihnya untuk online. Namun nihil. Haha.

Dengan pikiran yang masih di ambang sadar, segera ia menghadap cermin dan melihat dirinya.

"Apa yang salah dari aku?!" hardik gadis itu kepada dirinya sendiri dengan intonasi suara pelan.

Merasa tak mendapat jawaban, Rena pun mengambil sebuah sisir lalu melayangkannya berulang kali di atas kepalanya.

"Aku bisa. Tuhan senantiasa membantuku, aku tidak sendiri. Aku bisa dan aku kuat!"

Ya, mungkin seperti itulah ucapan yang selalu terucap dari bibir seorang Renata. Setidaknya perkataan baik di pagi hari yang baik, bisa membuatnya lebih percaya diri dan mendapati have nice day miliknya. Tentunya bersama Tuhan.

***

Sungguh rasanya Rena tidak ingin menceritakan kisah ini. Dia terlalu takut, tapi apa daya ingin semuanya tertulis dan tak ada beban. Hanya ini satu-satunya cara agar beban hatinya menguap.

Bel tanda mulai pelajaran masih sekitar lima belas menit lagi. Rasanya, terlalu cepat pagi ini dia hadir di sekolah.

Pikirnya, daripada di rumah terus saja mendapatkan semburan mentah yang sangat membuatnya tidak betah di rumah. Lebih baik berangkat lebih awal untuk menghindari hal itu.

Rena mengeluarkan sebuah buku kecil yang dia sebut sebagai diary. Motifnya emotikon dengan banyak ekspresi, juga background berwarna hitam.

Kelas hanya berisi tiga murid saja. Satu perempuan, satu laki-laki yang satu lagi adalah dirinya sendiri. Sambil menunggu cermetnya datang, -- setelah lima menit bel berbunyi -- Rena memutuskan untuk mencoret-coret diarynya, menumpahkan semua isi hatinya.

"Pagi Rena," sapa seorang laki-laki yang Rena kenali namanya.

"Pagi. Hari ini jangan ganggu gue, ya. Lagi gak mood nih," pinta Rena.

"Oke, gue gak ganggu kok. Cuma mau hibur lo doang. Gimana, boleh kan?" tanya Iki yang semakin membuat mood Rena hancur.

"Mending lo duduk di tempat lo aja sana! Gue lagi gak mau diganggu. Bisa denger gue ngomong kan?"

***

RENJANA ✔ [TAMAT]Où les histoires vivent. Découvrez maintenant