17. Senjata Makan Tuan

9 2 0
                                    

Menolak bukanlah pilihan terbaik saat ini. Jika memang harus dijalani, mungkin itu pilihan yang terbaik.

***

Suasana semakin panas, adu argumen di antara ketiga orang ini terus berlanjut. Rena duduk terdiam mengamati televisi, ia acuh terhadap ucapan-ucapan yang dikatakan kedua orang tuanya. Katakanlah, saat ini Rena menjadi anak durhaka, karena tidak mendengarkan perkataan orang tua. Namun, perihal jodoh tidak bisa dipaksakan. Itu prinsipnya.

"Apa alasan kamu menolak Ari, Rena? Kamu juga belum coba kok pendekatan sama dia," tanya sang ayah.

"Yah ... Ayah gak bisa lihat? Ari aja penampilannya begitu. Rena gak suka, Yah."

"Kamu hanya belum lihat aslinya dia gimana. Kalau kamu tau, bisa-bisa kamu sujud-sujud sama Ayah buat dijodohin sama dia."

Rena diam tak ada respon. Alam bawah sadarnya sedang bermain? 'Serriosly? Aku akan sujud-sujud? Yah, please deh, gak mungkin!'

"Pokoknya Ayah mau kamu sekarang lebih pengenalan sama Ari. Ayah kasih waktu seminggu, kalau kalian gak ada kecocokkan,  Ayah janji akan batalkan perjodohannya," telak sang ayah.

"Janji, Yah?" Rena mulai bersemangat.

Tegar menganggukkan kepalanya seraya menyesap teh yang sedari tadi menganggur. Mungkin sudah dingin. Mamanya pun tersenyum atas keputusan suaminya. Menurutnya, itu adalah keputusan yang bijak. Karena perihal mencintai dan dicintai, tak harus ada kata memaksa.

***

Rambut klimisnya merata sempurna di bagian poni. Kacamata bundarnya tersangkut rapi di hidung mancung seorang Ari. Tak henti-hentinya ia memandangi kaca spion mobilnya, dan sesekali menyisiri rambutnya menggunakan jari.

Dari arah salah satu rumah, tampak seorang gadis mengenakan seragam SMA dengan senyumnya yang tak pudar. Isi kepalanya berpikir, hal buruk apa saja yang akan dia lakukan terhadap manusia idiot itu.

Namun senyumnya itu perlahan turun, tatkala sepagi ini sudah disuguhi pemandangan seseorang yang menyebabkan ia dan kedua orang tuanya beradu argumen semalam.

"Loh, loh, loh, loh. Kok, kok, ada lo di sini?"

Rena melihat Ari dengan tatapan heran, memutari laki-laki itu beberapa kali sambil berkacak pinggang.

"Pagi, Rena," sapa lelaki itu dengan santun.

Rena tak merespon, matanya terpaku saat melihat ke arah mata Ari. Dia terdiam sesaat, tak melakukan apa pun.

"Rena, Ayah lupa. Tadi Ayah suruh Ari datang buat jemput kamu ke sekolah. Biar gak kesiangan." Suara ayah Rena tiba-tiba saja terdengar. Rena segera tersadar.

"Serius, Yah? Sama dia?" Wajah Rena datar.

Tegar mengangguk, dan tersenyum pada Ari.

"Yah, gak gini dong caranya," ucap Rena, ia menolak permintaan ayahnya.

"Daripada kamu terlambat. Coba liat jam kamu, kan tadi kamu juga bangun kesiangan."

06.50 WIB.

Refleks, Rena menepuk keningnya sendiri. Jam yang ditunjukkan oleh ponsel pintarnya sangat membuatnya panik.

RENJANA ✔ [TAMAT]Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt