2. Bimbingan Konseling

73 29 0
                                    

Ada hal yang seharusnya kamu ketahui. Namun tidak semua, karena apa yang kamu tahu nanti juga akan membuatmu kecewa.

***

"Mending lo duduk di tempat lo aja sana! Gue lagi gak mau diganggu. Bisa denger gue ngomong, kan?" hardik Rena, merasa kesal dengan tingkah Iki.

Teman laki-laki Rena ini pun paham dengan keadaan yang terjadi. Bukan tahu tentang segalanya, namun lebih tepatnya ia tahu suasana hati Rena sedang tidak baik-baik saja.

Ikhsan pun menghadap ke arah depan, memang tempat duduknya berada persis di depan meja Rena dan Tarisa. Sepuluh menit berlalu, Iki masih saja diam. Sedang Rena yang melanjutkan tulisannya di diary merasa tidak fokus, karena ia merasa bersalah.

Sesekali, matanya melirik Iki yang terlihat hanya bahu Iki dari belakang. Kini, tangan Rena memainkan penanya, memutar-mutarnya bahkan berulang kali mengeluarkan isinya dan kemudian memasukkannya lagi. Terus saja berulang.

"Gue minta maaf apa enggak, ya? Tapi kalo enggak, keadaan ini enggak nyaman banget," ucap Rena dalam hati, seraya menggigit bibir bawahnya pelan.

"Emm ... Ki?" tegur Rena.

"Iki?" ucapnya lagi setelah satu menit tak ada respon.

"Aduh nih anak mulai bolot apa gimana ya?" gumam Rena.

"Ikhsan Dimas Prayoga?"

Tiba-tiba seorang guru BK datang, dan langsung memanggil Iki.

"Eh, iya, saya Pak. Ada apa, ya?" tanyanya.

"Bisa ikut saya ke ruang BK sekarang?" ucap guru itu yang diketahui namanya adalah pak Hamdi.

Iki merasa bingung, lantas apa yang membuatnya bisa dipanggil guru BK? Rasanya, dia tidak melakukan kesalahan.

Iki mengingat-ingat perbuatan selama ia di sekolah ini. Selama hampir tiga tahun bersekolah. Selama hampir menuju semester enam. Setelah yakin dia tidak melakukan kesalahan apa pun, maka pikirnya tak perlu ada yang ditakutkan.

"Baik, Pak. Nanti saya ke ruang BK," jawab Iki dengan senyumnya, yang dibalas senyum juga oleh pak Hamdi. Jadilah mereka berdua saling senyum.

Rena yang melihat interaksi antara guru dan murid itu pun merasa geli di akhir. Wajar sih kalau senyum, tapi aneh aja.

"Ikhsan?" panggil Rena.

"Eh, tumben lo panggil nama gue bener. Ckck ...." ledek Iki, karena memang benar, hanya Rena yang memanggilnya dengan nama "Iki" itu. Selebihnya teman-temannya memanggilnya Ikhsan atau Dimas. Dasar Rena.

"Yeeeuu ... ya udah gue ralat. Eh, itu lo tetap mau ke ruang BK? Emang lo ada salah apaan sampai dipanggil pak Hamdi?" tanya Rena menyelidik. Sebagai sahabat, wajar saja bila memiliki rasa khawatir terhadap sahabatnya sendiri.

Iki menaikkan bola matanya, dan dengan santainya bangkit dari duduk.

"Emm ... gak tau. Emang kenapa?"

"Dih malah balik tanya. Gue ikut ya, temenin lo di BK. Siapa tau kan, lo nanti ngompol di celana gara-gara gertakannya Pak Hamdi. Kan beliau galak, hahaha."

Tawa Rena pecah, melihat Iki yang juga tertawa dengan guyonannya.

"Akhirnya gue bisa liat lo ketawa, Ren," batin Iki.

"Hmm ... boleh gak ya? Ya udah deh boleh. Tapi lo jangan malu-maluin gue, ya?"

"Ashiap Bos Iki."

Sampai di ambang pintu menuju BK, mereka berpapasan dengan Risa. Ia baru saja sampai di sekolah, lima menit setelah bel berbunyi.

"Eh, lo berdua mau ke mana?" tanyanya.

"Ada urusan sebentar, gak usah kepo deh lo," jawab Iki yang juga dibalas cengiran oleh Rena.

"Oke." Risa yang merasa bingung sekaligus aneh dengan yang dilakukan kedua sahabatnya itu akhirnya pasrah dan lekas masuk ke kelas.

***

Halaman sekolah mulai sepi, SMA Cempaka terlihat sangat kosong. Hanya ada bapak bertopi hitam ala koboi yang sedang menyapu daun-daun kering di lapangan agar terlihat bersih kembali. Namun, setelah dipikir-pikir, rasanya percuma. Toh si daun akan kembali menggugurkan dirinya lagi. Ya, setidaknya dalam waktu beberapa menit bisa terlihat bersih dan menyejukkan mata.

Lima belas menit sudah Rena menunggu Iki yang sedang berbincang serius dengan pak Hamdi. Namun lebih terlihat banyak canda tawa di antara keduanya. Mungkin, memang dasar Iki yang humoris, jadi pak Hamdi terbawa tingkah konyolnya.

"Yuk," ucap Iki sekaligus mengajak Rena pergi.

"Hah? Udah?"

"Udah. Lah, lagian sih lo dari tadi gak ikutan ngobrol. Padahal seru tau."

"Yee, gue aja gak tau obrolan apa yang kalian bicarakan." Iki tersenyum, melihat sahabatnya ini mengapa begitu polos.

Langkah mereka mulai menuruni anak tangga. Karena mengingat ruang BK yang terletak di lantai dua gedung sekolah. Namun tiba-tiba ada seseorang yang memanggil Rena.

"Rena? Nak, sayang boleh ke sini sebentar," ucap seorang wanita yang sudah terlihat keriput pada wajahnya itu.

Rena pun segera menengok si empunya suara. Ternyata bu Nuri. Beliau adalah wali kelas dari Rena dan Iki.

"Emm ... Ki, gue ke sana sebentar ya," ucap Rena yang mendapati anggukkan dari Iki. "Tungguin, jangan ditinggal," lanjutnya mewanti-wanti.

Iki hanya melihat Rena dan bu Nuri dari kejauhan saja. Dia malas jika harus berhadapan dengan guru itu, masalahnya adalah jika sudah mengobrol akan sangat lama. Memutar-mutar topik pembicaraan, membuatnya jengah.

Lihat saja, Rena. Sudah sepuluh menit berlalu namun belum juga usai dengan urusan yang entah apa itu.

"Lumutan gue, Ren, Ren," celetuk Iki sekembalinya Rena dari obrolan bersama bu Nuri.

"Ehehe, ya maaf. Lo tau sendiri kan gimana Bu Nuri."

"Hmm ... iya iya deh. Emangnya, lo disuruh apa sama dia?"

"Bu Nuri?"

"Iya, Bu Nuri. Lo malah diperjelas."

***

Masjid yang teduh karena dipayungi pohon besar terasa nyaman sekali untuk mengerjakan tugas dadakan yang bejibun ini. Bahkan embusan angin tak segan-segan sering mampir dan membuat Rena merasa kedinginan.

"Sepertinya akan hujan," gumam Iki yang berbicara kepada dirinya sendiri.

"Hah? Apa Ki? Berapa selanjutnya?" tanya Rena yang menunggu jawaban Iki. Kepalanya tertunduk dan kedua tangannya sibuk mengetikkan nilai teman-teman kelasnya yang akan diinput.

"Eh, tadi sampai mana, Ren?"

"Sampai pegel leher gue dan lo malah ngelamun," celetuk Rena. "Lo kenapa sih?"

"Engg ... enggak kok. Cuma kalo diliat-liat kayaknya mau hujan, ya."

Rena melihat ke sekitar, dan memang benar tanpa disadari langit mulai gelap. Rasanya, ia terlalu fokus mengerjakan ini semua.

"Iya, Ki. Ya sudah, kita cepat selesaikan tugas ini dan segera masuk ke kelas."

"Hmm ... iya. Ngomong-ngomong kita gak ikut pelajaran Pak Ardi, gimana ya?"

"Gak masalah kok. Tadi kata Bu Nuri, beliau yang akan izin ke Pak Ardi langsung."

"Oke deh. Selanjutnya, Satria. Matematikanya tujuh puluh lima," ucap Iki yang selanjutnya Rena ketik di dalam laptop.

Untung saja Rena membawa laptop dari rumah. Karena ia tahu kalau hari ini akan ada presentasi biologi yang memerlukan jasa laptop. Ya, maklum lah. Kurikulum dua ribu tiga belas memang lebih banyak ada presentasinya.

***

RENJANA ✔ [TAMAT]Where stories live. Discover now