14. Narasi

7 2 0
                                    

Awalnya memang tidak dapat dikatakan baik. Ingin rasanya kuberpuisi. Baiklah, sebentar saja.

Diri ini selalu terkesima pada burung
Iri menyelimuti saat hewan kecil itu berdecit
Cantiknya kau. Bisakah kupinjam sayapmu sejenak?
Aku ingin merasakan berada di udara
Sejenak saja.

***

Sudah sore saja, tak terasa. Hari ini Rena benar-benar menjaga Risa di rumahnya. Bila tadi ia kembali ke sekolah, rasanya tak tega bilamana harus meninggalkan Risa sendiri di rumah. Lagipula, Ikhsan membawa serta tasnya di dalam mobil, jadi tak perlu kembali ke sekolah untuk mengambilnya.

Rena duduk santai di dalam angkot. Matanya menyapu jalanan yang sedang ramai. Kepalanya hampir saja menyembul ke luar jendela angkot yang terbuka. Itulah kebiasaan Rena, ia merasa gerah kalau kepalanya terus berada di dalam kendaraan itu. Jika salah seorang ibu tidak memperingatkannya untuk tidak terlalu mengeluarkan kepalanya ke luar, pasti Rena sudah melakukannya lebih dari ini. Takut tersambar kendaraan lain, kata ibu itu.

Gadis ini memang sengaja pulang duluan. Mamanya berpesan agar tidak terlalu sore pulangnya. Takut terjadi apa-apa, maklumlah kekhawatiran seorang ibu terhadap anaknya. Dan Rena, menuruti permintaan itu.

Padahal Ikhsan, dia masih setia menemani Risa di rumahnya. Katanya, Ikhsan akan tetap di sana setidaknya sampai kakak Risa itu pulang ke rumah. Jelas saja Risa merasa senang.

Saat sudah sampai di gerbang perumahannya, Rena turun dari angkot itu dan membayar. Angkot memang tidak pernah masuk-masuk ke area Perumahan Melasti tempat tinggal Rena. Entah apa alasannya.

Akhirnya Rena pun berjalan untuk melanjutkan perjalanannya menuju rumah. Tak terlalu jauh, dari gerbang tadi ia hanya perlu lurus, kemudian belok kanan, belok kiri, dan terakhir belok kanan lagi. Sampai. Rumah Rena berada di sisi sebelah kanan.

Blok C5 gang Tulip, Perum Melasti nomor 8. Tolong catat dan hafalkan bila hendak mampir ke rumah Rena. Jika sulit menemukan, minta tolong satpam depan gerbang saja untuk mengantar. Beliau sudah sangat akrab dengan ayah Rena. Hehe.

Sebuah mobil terpajang jelas di depan halaman rumahnya. Mobil berwarna silver yang baru kali pertama Rena lihat. Pikirnya, mungkin ada teman ayah yang berkunjung hari ini.

Tapi tunggu. Ada seorang pria yang tak Rena kenali menuju ke rumahnya. Rena berhenti sejenak dengan banyak pertanyaan yang ada di dalam pikirannya. Namun yang paling dominan adalah, "Siapa lelaki itu?" ucapnya setengah berbisik.

Laki-laki itu berhenti sembari melihat ke arah ponsel miliknya. Rena mendekatinya dan kini tepat di belakang si orang misterius itu.

Bau parfumnya langsung meyeruak ke dalam indra penciuman Rena. Tak asing dengan wanginya, namun Rena tidak ingat siapa yang pernah memakai parfum ini juga. Ah sudahlah, wangi seperti ini pasti banyak yang menyerupai.

Rena memandang lekat-lekat pria itu. Sampai pada akhirnya ...

Dugg ...

"Au!" pekik Rena. Laki-laki itu berbalik badan dan langung mengenai tubuhnya. Rasanya seperti di body, tubuhnya langsung tersungkur ke tanah. Ah, dasar lemah.

"Eh, maaf maaf. Gak sengaja," ucap lelaki itu.

Tak asing dengan suara itu. Suaranya mirip ...

"Mari saya bantu," katanya lagi seraya mengulurkan tangan, dan juga ia menghancurkan pemikirannya tentang mirip siapa laki-laki ini.

Bukan dia. Gayanya saja beda.

"Kamu siapa?" tanya Rena setelah berhasil bangkit.

"Emm ... anu, sa ... saya Ar ... ari."

"Oh Ari. Ada urusan sama Ayah, ya? Kok gak langsung masuk aja?" tanya Rena tanpa curiga. Ia pikir orang ini adalah tamu dari ayahnya.

"Eh, tapi kan Ayah lagi gak di rumah. Lagi ke luar kota. Mungkin besok udah pulang," lanjut Rena.

"Iya, Mbak. Itu sebabnya saya mau pulang lagi. Bapaknya si Mbaknya kan lagi ke luar kota. Saya ada janji sama bapaknya si Mbak, tapi saya lupa janjiannya kapan," terang Ari.

Kedua alis Rena terangkat dengan mulut yang terbuka kecil. Ia bingung dengan tamu ayahnya yang satu ini. Kenapa aneh sekali? Dan, Rena baru tahu kalau ayahnya punya teman culun dengan kumis tebal dan berkacamata macam ini. Astaga Rena, apa yang kamu pikirkan.

Masalahnya, Rena sangat geli dengan kumis. Apalagi tuh kumis tebel banget. Kalau ayahnya punya kumis macam dia, pastinya Rena dengan sangat bawel meminta ayahmya agar dicukur.

"Ya sudah, saya pulang dulu. Lain kali ke sini lagi, permisi."

Laki-laki yang kini Rena tahu namanya Ari sudah pergi dengan mobil silver itu. Rena berdiam diri sejenak, memikirkan kejadian yang barusan saja terjadi. Detik berikutnya, Rena melangkah masuk ke dalam rumahnya. Bersikap tak peduli, namun tetap kejadian ini akan ia laporkan ke ayahnya jika sudah pulang nanti.

"Kalau bisa gak usah ke sini lagi," guman Rena.

Sementara di mobil Aruli ...

"Hufftt ... untung saja tidak ketahuan dan Rena percaya begitu saja."

"Bodoh! Lain kali harus bisa lebih mengendalikan diri," ujar Ruli.

--//--

Musim penghujan seperti ini, memang banyak yang terkena penyakit. Apalagi, jika tubuh dalam keadaan tidak vit.

Malam sudah mendekati tengahnya. Pukul sebelas lewat empat puluh lima menit. Laki-laki berparas tampan ini masih setia menemani sang adik. Sementara adiknya, tidur dengan wajah pucat yang masih ketara.

Sore tadi Aruli sudah memanggil dokter keluarga untuk memeriksa keadaan Risa. Karena Risa tidak ingin diajak ke rumah sakit, apa boleh buat Aruli harus menghubungi dokter itu.

Hanya demam, menurut sang dokter. Jangan terlalu banyak pikiran, kalau dibiarkan terus takut tipus menyerang karena kelelahan. Aruli diam, memandang adik satu-satunya itu. Di rumah hanya berdua, ayah dan ibunya mengabari kalau mereka tidak bisa pulang hari ini karena pekerjaan. Pas sekali, mereka kompak. Dan, parahnya lagi di saat anak perempuannya sakit? Ayolah, takdir terkadang selucu ini.

Sebagai kakak yang baik, dan tentunya bertanggung jawab, Aruli harus siap sedia menjaga sang adik setidaknya malam ini demamnya dapat turun.

Tak ada yang menemani, kakinya ia langkahkan ke arah dapur rumah. Mungkin segelas kopi mampu menemaninya di malam hujan seperti ini.

Kopi susu yang menjadi favoritnya pun sudah siap disajikan, ia kembali ke kamar Risa dan menjaganya kembali. Sekelibat ingatan pun datang tatkala matanya terfokus pada kopi yang sedang ia aduk.

Rena. Gadis itu. Hadir dalam ingatan, mengingatkan kembali kejadian sore tadi. Senyum Ruli mengembang, bahkan sampai memperlihatkan deretan giginya dan lantas tertawa kecil.

Awalnya memang dia tidak tahu, kalau Rena, teman dari adiknya itu ternyata adalah anak dari Tegar. Ia baru mengetahuinya saat Aruli dan Tegar bertemu saat itu. Dan Tegar, beliau menunjukkan foto Rena.

Ternyata dia.

Sejujurnya, Aruli sudah menyukai Rena semenjak kecil. Pipinya yang chubby serta senyumnya yang manis, membuatnya menyukai gadis kecilnya saat itu. Kini pun tak jauh berbeda, walaupun kini Rena tak se-chubby yang sekarang, namun senyum manisnya masih persis sama tak sedikitpun luntur.

Semoga Rena mengingatnya.

--//--

RENJANA ✔ [TAMAT]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora