4. Anjana

62 30 1
                                    

Tak ada puisi, tak ada sajak, tak ada rima. Rasanya isi kepala sudah penuh dengan keributan yang terjadi di luaran sana.

***

Malam semakin dingin, hujan pun sudah mulai reda. Terdapat dua anak manusia yang berpelukan sebagai sesama saudara. Ingin Rena berterima kasih kepada Tuhan. Karena telah memberikan sosok ayah baru dalam kehidupannya.

"Coba dong, Kak. Lihat puisi buatan aku ini," ucap Jana yang menyodorkan buku miliknya.

Tanpa berkata apa pun, Rena menerima buku itu. Kemudian membaca detail setiap kata yang tertulis oleh sang adik. Tulisan Jana memang rapi, terlihat bagus jika tertata dalam bait-bait puisi ini.

"Bagus, Jan. Untuk awalan, kamu sudah menguasai beberapa trik yang Kakak berikan. Semoga semakin bagus lagi ya," kata Rena mengomentari puisi buatan sang adik.

Jana pun tersenyum, atas pujian itu. "Emm ... Kak?"

"Apa?"

"Aku mau cerita, deh. Kakak inget gak, teman aku yang namanya Samuel?" tanya Jana dengan hati-hati.

"Samuel, yang kamu panggil Muel, Muel itu, kan?"

"Iih ... Kakak gak usah diperjelas," ucap Jana seraya menutup wajahnya menggunakan bantal karena rasa malu akibat masa lalunya yang menurutnya alay.

"Hehehe ... iya deh maaf. Kenapa emangnya? Kenapa dia, kamu ketemu dia?"

"Bukan itu. Dia kan anaknya indigo, Kak. Terus waktu tadi di sekolah dia aneh banget deh, suka ngomong sendiri gitu."

Rena menggangguk paham. Jana menceritakannya dengan penuh penghayatan dan mempraktikkan bagaimana gaya teralay yang pernah kakaknya lihat.

"Terus kenapa?" tanya Rena yang masih belum maksimal mendengarkan cerita adiknya yang masih setengah jalan.

Jana pun mendekat ke arah kakaknya, kali ini ia berniat berbicara pelan saja. Entah apa alasannya.

"Kayaknya sih ya, Kak. Dia punya teman tidak kasat mata," ucap Jana pelan. Lebih mengarah ke berbisik.

"Iya terus kenapa? Hahaha, kau membuat Kakak bingung, Jana."

"Ceritaku belum selesai, Kak. Jadi, dua bulan yang lalu saat aku ke taman bersama teman, aku foto sama patung badut yang ada di depan gerbang taman."

Jana mencoba mengingat apa nama patung itu. Posisinya saat ini yaitu tidur di atas kasur milik kakaknya, dan menatap langit-langit. Sekali dua kali, terlihat kalau dia sedang berpikir keras.

Rena yang melihat tingkah adiknya pun rasanya ingin tertawa. Tapi jika itu dilakukannya, adiknya pasti akan marah. Jana masih saja berpikir.

"Mau aku bantu, gak?" tawar Rena.

"Bantu apa, Kak?" ucap Jana bingung.

"Bantu kasih tau nama patung itu."

"Emang apa, Kak? Kakak tau?" ucap Jana lagi dengan intonasi bertanya. Matanya kini melihat ke arah Rena.

"Itu bukan patung badut, itu patung sinterklas."

"Nah iya itu, Kak. Aku dari tadi ingatnya nama patung itu adalah senter kelas," ucapnya polos.

"Hah? Ada-ada saja kamu, Jana. Hahaha ...." Tawa Rena pecah ketika mendengar ucapan adiknya itu. Sampai ia tak bisa berhenti karena sedari tadi menahan tawa dan akhirnya kini ia bisa tertawa.

Jana pun tak keberatan dengan reaksi kakaknya, ia malah ikut tertawa bersama.

"Kak, dijeda dulu ketawanya. Ceritaku belum selesai,"  seru Jana yang menyudahi tawa keduanya.

Rena berhenti tertawa dan ia tersenyum kepada adiknya seraya menaikkan dagunya tanda bahwa adiknya harus melanjutkan ceritanya.

"Terus waktu itu tiba-tiba Muel ada di situ juga. Tapi seperti biasa dia aneh. Masa patungnya diajak ngobrol, Kak."

Hening. Mereka sama-sama diam lenyap dalam pikirannya. Jana yang menunggu respon kakaknya yang nyatanya Rena dalam diam rasanya ingin tertawa. Ekspresi Jana sangat tegang, dan itu membuatnya lucu.

"Ya udah, udah malam nih. Tidur sana, jangan malah kayak orang metakutan di sini," ujar Rena sedikit meledek adiknya itu.

"Iya iya, lagian siapa juga yang ketakutan. Udah ah, mau balik ke kamar aja, bay."

Jana pun kembali ke kamarnya. Meninggalkan Rena yang sedang berkutik dengan pikirannya sendiri. Entah apa yang membuat pikirannya terasa penuh. Akhirnya, hanya musik yang mampu mengembalikan keadaanya.

Segera Rena meraih ear phone miliknya dan memasangkan ke telinganya. Mencoba memutarkan lagu dari play list. Mata Rena perlahan meredup, segera gadis ini membereskan peralatan sekolahnya sebelum matanya benar-benar terpejam.

***

"Pagi Risa," sapa Rena yang bertemu Risa, sahabatnya di depan pagar sekolah.

"Eh, Rena. Pagi juga," balasnya.

Pemandangan yang berbeda pagi ini. Tidak seperti biasa Risa yang setiap harinya berangkat ke sekolah menggunakan sepeda motornya kini dia diantar menggunakan mobil berwarna hitam.

"Kak, nanti jemput aku lagi, kan?" tanya Risa kepada seseorang di dalam mobil.

Terlihat samar-samar oleh Rena, orang yang ada di dalam mobil itu hanya mengacungkan jari jempolnya.

"Oh iya, Kak. Kenalin ini sahabat Risa, Rena namanya," ujar Risa yang memperkenalkan kakaknya dengan sahabatnya. "Rena, itu Kakak aku, Ruli namanya," lanjut Risa.

Mereka hanya saling senyum. Baru kali ini Rena melihat kakaknya Risa. Setelah percakapan singkat itu, Ruli, kakak dari Risa segera pergi. Dan Risa juga Rena akhirnya masuk ke dalam sekolah.

"Sekarang lo diantar jemput?" tanya Rena spontan.

"Emm ... enggak kok. Itu tadi Kakak gue aja yang lagi baik mau antar jemput gue ke sekolah," balas Risa.

"Tapi baru kali ini gue liat Kakak lo. Dia baru pulang dari kuliahnya, ya?"

"Iya, dia lagi nunggu diwisuda aja. Sekarang lagi pulang. Ya maklum, dia kan kejar SKS gitu, jadinya jarang pulang. Tapi hebatnya, dia cuma selesaikan kuliah tiga tahun saja," terang Risa.

Rena pun mengangguk, mencerna ucapan Risa agar ia mengerti apa yang dibicarakannya. Akhirnya, tak terasa sudah sampai di kelas. Obrolan itu memang membuat perjalanan seakan lebih singkat.

"Pagi sahabat-sahabatku," sapa Iki. "Eh, tumben nih Risa jam segini udah dateng," lanjut Iki bicara pada Risa seraya melirik jam tangan yang melingkar di tangan kirinya.

"Ya sekali-kali gue rajin. Gak ada salahnya juga, kan?" jawab Risa menimpali Iki yang terkesan meledeknya.

Rena pun hanya tertawa melihat interaksi kedua sahabatnya itu. Dia masih sibuk mengunyah sarapan paginya yang tidak sempat ia makan di rumah yang berujung harus membawa makananya ke sekolah, atau jika tidak pastilah ibunya akan marah.

"Ya udah, galak banget sih. Kayak gue mau dicaplok aja," bela Iki yang akhirannya ia malah menyuap nasi milik Rena ke mulutnya. Itu terjadi karena Iki yang memutar balikkan tangan Rena yang awalnya sendok itu mengarah ke mulut Rena, ini malah ke mulut Iki.

"Iih ... Iki, itu kan nasi Rena," jerit Rena, kemudian membuat mata Iki melotot dengan mulutnya yang masih penuh dengan makanan belum terkunyah berhenti bergerak karena kaget, Rena yang menjerit. Sedangkan Rena dengan wajah cemberut.

***

RENJANA ✔ [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang