Bab 1: Music Box

489 49 53
                                    

Diharapkan untuk menekan tombol vote setiap membaca.
Terima kasih
•••

Suara sorakan, siulan ataupun yang lebih menyebalkannya hadiah-hadiah yang menumpuk di atas meja sudah menjadi pemandangan normal untuk kulihat setiap harinya.

"Rika, ini untukku ya."

Tak perlu menunggu jawaban dari Rika, langsung kuambil sebungkus potato chips rasa balado di atas meja. Kemudian tatapan tak suka dari anak laki-laki seolah ingin menusuk kulitku sudah tidak sekali dua kali kudapatkan.

Kujulurkan lidahku pada mereka, beginilah rasanya berteman dengan anak perempuan tercantik di kelas, atau mungkin tercantik di sekolah.

"Kalau kamu mau, ambil aja semua ini." Rika menunjuk benda-benda yang ada di atas mejanya.

"Dengan senang hati, Tuan Putri."

Kulihat satu persatu hadiah yang dikirim oleh anak laki-laki tol*l ini.
"Cokelat, snacks, lalu ah.. ini untukmu saja." Aku menyisihkan surat-surat cinta untuk Rika dan lainnya untukku.

Masih berbaik hati Rika mau membaca satu persatu surat dari mereka. Kalau aku jadi Rika, sudah kurobek semua surat itu, menggelikan.

"Azura, yang ini untukmu." Jarinya menyisihkan amplop berwarna hitam padaku. Dilihat dari warna amplopnya saja aku yakin dibandingkan dengan surat cinta, lebih terlihat seperti surat ancaman.

Aku mengambil hendak melemparkannya ke tempat sampah, tapi seperti ada benda lain di dalam amplop ini. Jangan-jangan pisau silet. Niatkanku untuk membuka amplop ini terhenti, terdengar suara bel untuk pelajaran berikutnya. Baiklah, aku akan menunggu hingga bel pulang sekolah.

Menjelang pelajaran terakhir, bunyi gemuruh terdengar lalu disambung oleh kilat yang tampak, "Bagaimana nasib kebun bungaku nanti." Pikirku.

Setiap pelajaran berakhir, murid-murid diwajibkan mengikuti ekstrakurikuler. Rika mengikuti ekstrakurikuler ballet, lalu aku yang tidak lentur ini mengikuti ekstrakurikuler berkebun yang beranggotakan aku seorang saja.

Dan benar, berakhirlah aku di sini. Di ruang musik, karena dari jendela ruangan ini langsung terlihat kebunku berada. Anginnya terlalu kencang, dengan perasaan risau aku menopang dagu dengan kedua tanganku.

"Ehem, maaf. Mau dengar fur elise?"

Bahuku sedikit tersentak mendengar ada suara lain di ruangan ini. Aku tidak tahu ekspresi apa yang terpasang di wajahku, tapi yang kulihat dia menatapku sedikit ketakutan.

"Ya, berbuatlah sesuka hatimu." Jawabku acuh, yang terpenting saat ini bukan permainan piano dari anak yang sama sekali tidak kukenal. Aku hanya berharap hujan cepat berhenti, demi keselamatan bunga-bungaku yang rapuh.

[Buka playlist di atas]

Perhatianku sedikit teralihkan, aku tidak mengerti sama sekali tentang musik dan entahlah apa tadi judul lagu ini yang sedang ia mainkan, setahuku lagu ini tidak asing di telingaku.

Setelah lagu yang ia mainkan selesai, baru aku tersadar pandanganku sepenuhnya sudah tertuju padanya. Dia tersenyum di akhir lagu, tanpa tahu apa maksudnya aku bertanya, "Hantu?"

Raut wajahnya yang lembut berganti menjadi ekspresi kaget. "Kakak, beginikah cara berkenalan yang baik?"

"Ah, maaf." Aku spontan berlari dari ruangan itu.

🌨🌨🌨

Hari berikutnya masih sama di atas meja Rika bertumpuk semua barang-barang yang mereka taruh sebelum pelajaran pertama dimulai.
Aku memutar mataku malas, jelas sekali di depan pintu kelas ada segerombolan kakak kelas yang diam-diam mengintip ke dalam.

14 Days [Completed]Where stories live. Discover now