Bab 10: Valentine Expression

65 19 6
                                    

Diharapkan untuk menekan tombol vote setiap membaca.
Terima kasih
•••

Di hari Valentine, sebenarnya mana yang benar antara anak cewek yang memberi cokelat atau malah sebaliknya? Sedikit membingungkan karena di sekolahku hanya familiar dengan Valentine daripada White Day. Aku mendengar banyak sekali bisikan tentang seberapa antusias anak cewek merayakan Valentine besok.

Kuperbaikki tataan rambutku dengan menyisirnya kebelakang dengan jari-jariku. Pandanganku kembali fokus ke buku matematika yang menampilkan banyak sekali angka dan juga rumus-rumusnya.

"Sean,"

Pandanganku menoleh ke asal suara yang memanggilku. Seperti biasa senyum tipis kuulaskan sebagai jawaban.

"Lebih suka dark atau white cokelat?"

Gerombolan cewek-cewek ini menunggu jawaban dariku. Aku berpura-pura untuk berpikir sebentar agar terlihat benar-benar mempertimbangkan pertanyaan mereka.

"Sebenarnya aku tidak suka makanan manis." Jawabanku mendapatkan banyak respon yang berbeda. Ada yang langsung menghela napas, ada juga yang langsung memasang ekspresi berpikir. Seru rasanya melihat mereka kebingungan karena jawabanku.

"Hadiah Valentine 'kan, bukan selamanya cokelat," Aku sedikit menghibur mereka. "Tapi kalau kalian yang kasih, aku akan tetap menerimanya kok." Kalimat terakhir kubumbui dengan senyum paling manis untuk mereka.

"Sean yang tersenyum saja sudah lebih manis daripada cokelat!"

Salah satu dari mereka mengusap-usap rambutku, walau sedikit kesal karena rambutku kembali berantakan, tapi ujung mataku menangkap ekspresi darinya. Matanya yang tertuju pada spot keributan di kelas, langsung memalingkan pandangannya saat pandangan kami saling berjumpa.

Vivia Tya Edelweis, anak cewek satu-satunya yang tidak pernah mencari perhatianku. Cewek yang duduk di ujung kelas itu selalu memandangku dengan matanya yang tanpa ekspresi atau bisa disebut ekspresi tidak suka menurut sudut pandangku.

Diam-diam aku juga mencari tahu banyak hal tentang dia. Mata pelajaran biologi yang menjadi mata pelajaran kesukaannya, atau dia yang aktif mengikuti ekstrakurikuler renang. Hanya sejauh itu yang bisa aku ketahui karena gadis itu tidak terlalu berbaur dengan cewek-cewek di kelas. Sosok dia yang seperti itu menambah rasa penasaranku.

"Gimana dengan gelang yang kuberikan padamu, masih ada 'kan Sean?" Lamunanku buyar seketika.

"Oh, ada." Kubuka ponselku dan mencari galeri. Kutunjukan gambar meja belajarku yang penuh dengan hadiah kecil yang diberikan cewek-cewek ini.

"Woahh! Dijaga ya."

Bel sekolah akhirnya berbunyi, masing-masing dari mereka kembali ke tempat duduknya masing-masing. Dan pertanyaan mereka menghantui pikiranku, "Valentine ya." Gumamku. Kuhidupkan ponselku dan melihat tanggal yang tertera di dalamnya. Tiga hari lagi ternyata.

🧶🧶🧶

Sepulang dari sekolah, ruang tamu menyambutku dengan banyak sekali tumpukan buku dan juga laptop yang sedang menyala. Kuletakkan tas hitamku ke sofa, lalu mulai melihat judul-judul buku di atas meja.
Rata-rata semua buku tentang bisnis, "Oh, sudah pulang." Sapaan yang kudengar tanpa aku melihatnya lagi, aku sudah tahu siapa yang berbicara.

"Kak, kenapa engga di kamar aja ngerjain skripsinya?" Kuletakkan kembali buku ini ke posisi awalnya.

"Kalau di kamar, takutnya malah kebanyakan istirahat daripada ngerjain skripsinya."

14 Days [Completed]Where stories live. Discover now