Bab 7: Writer Block

73 25 3
                                    

Diharapkan untuk menekan tombol vote setiap membaca.
Terima kasih
•••

Detik terus bergulir menjadi menit kemudian menjadi jam, tapi, masih belum ada satu paragraf pun yang tertulis. Mataku melirik ponsel yang terus bergetar karena panggilan masuk. Editor, kepalaku berdenyut memikirkan alasan untuk menghindari amukan editor yang terbayang jelas akan seberapa panjang omelannya.

"Sungguh aku sudah berusaha!" Kurentangkan tubuhku untuk peregangan. "Sudah berapa gelas teh yang kuminum, ya?" Kakiku bergerak dari tempat duduk nyamanku ke dapur. Jam dinding sudah menunjukkan pukul delapan malam, kuambil apron hitam yang menggantung di gantungan lalu menyiapkan makan malam.

"Benar-benar ya,memang engga bisa menghindar lagi dari telepon ini."

Kutekan tombol hijau, langsung suara nyaring terdengar dari speaker ponsel.

[Viona! Gila ya?! Sudah berapa kali kutelepon baru sekarang diangkat?!]

"Maaf-maaf, tolong buat pengumuman kalau aku hiatus minggu ini, kumohon." Tanganku sibuk mengolesi ayamku dengan bumbu.

[Enak banget, udah ngilang seharian. Sekali diangkat minta dibuat pengumuman hiatus.]

Terdengar jelas sekali nada kesal terlontar dari bibirnya. Tapi, benar-benar aku butuh waktu untuk merehatkan otakku ini dari pekerjaan.

"Maaf, aku lagi writer block." Ujarku sambil menghela napas kasar.

[Oh, ok. Tapi lain kali jangan menghindar dari teleponku. Darahku hampir habis karena terus dikejar oleh manager. Byee.]

Kukepalkan kedua tanganku lalu melompat-lompat girang. Aku akan benar-benar memanfaatkan hari liburku ini. Senandung lagu terucap dengan nada senang, ayam yang akan kumasak hari ini pasti akan enak.

🌃🌃🌃

Makan dengan keadaan gembira benar-benar mempengaruhi rasa makanan. Walaupun biasanya makanan lah yang membuat suasana hatiku membaik saat suntuk bekerja. Cahaya layar ponsel menjadi sangat silau di ruangan gelap, kuatur cahayanya lalu memakai kacamata untuk memperjelas penglihatan.

"Enak ya Kyra jalan-jalan ke Jepang." Ku-scroll layar ponselku melihat sosial media, mengetuk layar dua kali untuk memberi like pada posting-an teman.

Tiba-tiba tubuhku bergerak meraba laci yang berada di sebelah tempat tidur. Dimana buku tabunganku? Jari-jariku membongkar satu-persatu benda yang ada di dalam laci.

"Ketemu!" Seruku, senang.

Kubuka buku yang berisikan dengan angka-angka di dalamnya. Digit nolnya berjumlah tujuh buah, "Tidak sia-sia juga aku berstres-stres ria selama ini." Ucapku puas melihat angka di buku tabunganku.

"Tapi, kalau untuk jalan-jalan," Kuambil buku pengeluarkanku untuk memperhitungkan keinginanku saat ini. "Lihat-lihat tiket promo, ah."

Keasyikan memantau tiket-tiket di website, pandanganku mulai memburam. Tanganku menggosok kedua mataku agar tetap terjaga, namun rasa kantuk tidak bisa lagi ditahan. Pandangan mulai menghitam lalu terlelap.

🌃🌃🌃

"Peony Vanderika, benar?"

Kelinci abu-abu di hadapanku membenarkan posisi kacamatanya yang turun karena melihatku. Kedipan mataku bertambah, di ruangan penuh dengan rak buku dan juga beberapa kelinci yang berlalu-lalang, sebenarnya dimana aku sekarang?

"Ini buku yang ingin kau baca, ikuti tata peraturan dan terima kasih. Selanjutnya!"

Pandanganku beralih ke belakang melihat seekor belalang yang melihatku dengan bingung. Aku yang paham maksud dari tatapan itu menggeserkan diriku membiarkan gilirannya untuk mengambil buku.

14 Days [Completed]Where stories live. Discover now