Eliza Lahima

470 64 39
                                    

Seorang gadis berlari kecil menuruni anak tangga di rumah berarsitektur Belanda ini. Rambut lurusnya bergoyang setiap kali ia melangkah. Tangannya menggenggam erat sebuah cangkir teh dengan kepulan asap yang mengambang di atasnya. Dia melewati dapur, tempat para pengurus mempersiapkan makan malam. Juga melewati ruang bermain yang dibuat khusus untuk anak-anak di sini.

Matanya langsung tertuju ke arah dua orang temannya yang duduk berjarak tiga meter. Tak jauh dari tempat anak-anak yang bermain. Dua temannya ini memang tidak suka jika berkumpul di tempat sepi seperti halaman belakang atau ruang belajar yang tidak ada penghuninya di jam-jam seperti saat ini. Duduk pun harus berjarak alias tidak terlalu dekat. Sampai sekarang pun gadis ini tidak mengerti, apa serunya jika ngumpul tapi berjarak seperti itu. Toh, selama ini saja dia selalu bertingkah biasa jika sedang berinteraksi dengan lawan jenis.

"Lo berdua, tuh, ya. Mesti banget duduknya berjarak gitu kayak orang kena virus?" celetuk gadis itu. Celetukannya membuat kedua remaja tersebut menoleh padanya.

"Memang harusnya kayak gini, El," tanggap seorang perempuan berkacamata yang tengah membaca buku.

"Duduk lo, El. Kita udah nungguin dari tadi," perintah si cowok sambil memasang wajah masam. Gadis itu tersenyum sinis, lantas duduk tepat di depannya. "Kemana aja lo? Capek gue nunggu lo. Kaki gue sampai kesemutan."

"Ngapain lo nunggu gue? Kek gak ada kerjaan lain aja lo," tanya El jutek.

"Kerjaan gue, tuh, banyak. Tapi gue harus nyelesain masalah yang udah lo buat dulu," balas Haziq.

El terlihat mengernyit. Dengan enteng ia berkata, "Gue buat banyak masalah. Masalah mana yang lo mau bahas?"

Mendengar itu Haziq langsung melotot padannya. "Lo yang naruh tikus mati di kamar gue, kan? Ngaku lo!" tuduh Haziq tanpa basa-basi lagi.

El terdiam sebentar, tampak berpikir. Namun tak lama kemudian ia tertawa mendengar tuduhan itu. Ia tidak langsung menanggapi. Membuat Haziq semakin yakin kalau El orang kurang kerjaan yang menjailinya.

"Jahat lo, El. Lo kalau mau ngerjain gue gak gini juga kali. Jantung gue hampir pindah ke dengkul saking kagetnya." Haziq mulai menggerutu panjang. Hal itu bukannya membuat El kesal, tapi malah membuatnya tambah puas tertawa. Dan tentu saja hal itu membuat Haziq tambah jengkel padanya. "Ketawa terus lo! Gue sumpahin lo kena karma!"

Tawa El mulai mereda. "Terus gue harus apa? Bangkainya udah dibuang, kan? Jadi kenapa lo masih marah-marah?" tanya El dengan wajah tidak berdosa.

"Ya, lo setidaknya say sorry gitu," celoteh Haziq. Wajahnya makin kusut. "Kalau bukan karena lo sering kasih gue contekan, udah dari dulu kali gue lempar lo ke laut."

El kembali menertawakannya. Merasa puas sekali, apalagi setelah dia mengingat bagaimana Haziq berteriak tadi pagi. Teriakannya membuat satu rumah kaget. Untung saja setelah itu El langsung pamit untuk pergi bersama teman-temannya. Kalau tidak sudah sejak pagi tadi ia mendengar omelan Haziq.

Ia menatap Fathia, gadis berkacamata yang masih tampak fokus pada bukunya. Kalem seperti biasa. "Fat, mood gue jelek lagi, nih."

Fathia mengangkat kepalanya. "Iya, aku tau. Gara-gara Rendy, kan?" Wajah El mengeruh ketika Fathia menyebut nama itu. Rendy, cowok populer di sekolah yang tampaknya sangat terobsesi pada El. "Aku gak paham lagi, deh, sama dia."

Haziq menatap keduanya penuh minat. Tertarik dengan alur percakapan. "Apani apani? Kenapa si Rendy? Ish, lo berdua jangan bikin gue kepo, dong! Kalau ada info, tuh, bilang-bilang," protes Haziq.

"Biasa, Ziq. Rendy gangguin dia lagi," ujar Fathia.

Haziq mengerut. "Lagi? Dih, gak ada capeknya, ya, tuh, anak? Perlu diapain, tuh, biar dia berhenti gangguin El? " Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. "Ditegur malah ngamuk. Didiemin malah ngelunjak."

Kita & Luka {Tamat}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang