Kamu Bercerita, Aku Mendengarkan

81 21 7
                                    

Memang, jalan kehidupan tidak selalu sesuai dengan harapan manusia. Dimana kita mengharapkan bahagia dan kegembiraan, yang datang malah kecewa dan luka.

- Kita & Luka -

Aslan menyuruh gadis itu untuk membersihkan dirinya di kamar mandi. Ia juga memberikan sebuah paper bag yang berisi sebuah rok dan kaos lengan panjang. Tanpa sempat bertanya dari mana Aslan mendapatkannya, El segera masuk ke kamar mandi dan membersihkan dirinya.

Cowok berambut kecokelatan itu menyandarkan dirinya ke dinding. Kejadian menegangkan tadi masih terputar-putar di ingatannya.

"Apa yang dia pikirin? Sehancur-hancurnya gue, gue gak pernah terpikir buat bunuh diri." Aslan menggeram. Dia tidak tahu apa yang El pikirkan sekarang. Bahkan ia tidak tahu apakah keinginan bunuh diri masih ada di dalam pikiran El.

Yang ada di pikirannya adalah bagaimana cara untuk mengembalikan semangat El. Ia tidak suka melihat El yang sekarang. Ia lebih suka El yang keras kepala dan selalu berdebat dengannya.

Pintu kamar mandi terbuka. Aslan menoleh, menemukan El yang melangkah keluar. Tatapannya masih sama kosongnya dengan tadi.

"Tangan lo gak papa? Mau gue obatin?" tawar Aslan.

El lekas menggeleng. "Nggak. Gue udah obatin di dalam," ujarnya bohong.

"Jangan bohong, El."

"Gue gak papa."

"Yakin?"

El menatap Aslan kesal. "Iya! Jangan ganggu gue! Gue gak butuh bantuan lo!"

Hening menyelimuti keduanya setelah itu. El memalingkan pandangannya ke arah lain. Mengabaikan Aslan yang masih menatapnya. "Ya, udah. Ayo, pulang. Sebelum itu kita pergi ke taman dekat sekolah dulu."

El mengerutkan kening. Ia mencoba menyejajari langkah Aslan yang sudah berjalan ke halaman belakang. Sepertinya ia hendak keluar dari sana. "Taman? Ngapain?"

"Lo harus cerita sama gue."

- Aslan -

Taman di dekat SMA Bagaskara ini terlihat agak ramai. Dulu saat SMP El lumayan sering ke sini. Betah berlama-lama duduk di taman sambil memperhatikan sekitar.

El menjatuhkan diri di atas rumput. Lalu bersandar di sebuah pohon yang berada di dekatnya. "Lo beneran mau denger cerita gue?" tanya El sambil menatap Aslan.

Cowok itu ikut duduk di depannya. Mengangguk. "Iya."

El menghela napas. "Gue gak seberuntung yang lo pikirin."

"Gue tau," tanggap Aslan. "Lo punya masalah. Jadi lo harus cerita sama gue.

"Allah gak adil sama gue, Slan."

"Kenapa lo bilang gitu?" tanya Aslan.

"Karena sejak kecil, gue gak tau rasanya bahagia." Suara serak El dibiarkan mengambang saja di udara.

Aslan tidak memberi tanggapan. Batinnya berteriak. Gue juga.

"Gue gak tau apa itu 'cinta orangtua sama anaknya'. Gue punya orangtua, tapi rasanya gue asing sama mereka. Gue gak pernah diperhatiin. Sejak kecil gue ngerasa tersiksa." Bulir-bulir air mata jatuh tepat setelah tenggorokannya seakan menahan kalimat selanjutnya. Ia kehilangan niat untuk melanjutkan ceritanya. Baru mengingatnya saja El sudah menggigit bibir. Ketakutan, rasa sakit, dan kerinduan berlomba menguasai gadis itu.

"Terusin," kata Aslan yang memperhatikan gelagat El sejak tadi. "Percaya sama gue, El. Itu bakal bikin lo merasa lebih baik."

Napas El berhembus pelan. Matanya terpejam. Ada sejuta rindu yang ia menguasai diri dan sejuta luka yang ia derita, namun tak siapapun mengetahuinya.

Kita & Luka {Tamat}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang