Dua Bintang Kelas

110 32 4
                                    

"Gue yakin, sepinter-pinternya dia, pasti ada kelemahannya. Liat aja, gue bakal cari titik lemahnya dia dan gue bakal buktiin kalau gue lebih baik dari Aslan!" ketus El sambil melipat kedua tangannya. "Siapa, tuh, anak? Dia pikir dia bisa ngalahin gue?"

Karin dan Nafisa hanya mengangguk-angguk tanpa berniat untuk berkata apa pun. Ini hari kesekian El bilang demikian. Tapi hingga saat ini, El belum bisa membuktikan ucapannya.

Sejak perdebatan pertamanya dengan Aslan, hari-hari El di sekolah ini menjadi semakin buruk karena diisi dengan perdebatan-perdebatan lain dengan anak itu. El yang memulainya, dan El juga yang harus menanggung malu karena Aslan berhasil memojokkannya.

Mau bagaimanapun, semua orang mengakui kalau Aslan memang lebih baik dari segi mana pun. Ganteng, cerdas, alim, dan punya good attitude. Hanya saja dia cuek. Berbeda dengan El yang hanya menang di segi paras dan akademik. Gadis itu tidak punya sikap hal yang Aslan punya, yaitu sikap baik. Namun, di saat yang sama, El punya satu hal yang tidak Aslan miliki. Aslan tidak mudah bergaul dengan orang lain.

"Iya, deh, El. Kita cuma bisa doain semoga kamu gak darah tinggi ngadapin Aslan," ujar Nafisa pasrah. Ingin rasanya menasehati sahabatnya itu, tapi El pasti akan mencari sejuta cara untuk mengelak. "Oh, ya, El. Lo ... emangnya gak ada rasa sama Aslan?"

El langsung tersedak. "Rasa? Suka maksud lo? Dih! Gimana mau suka kalau tiap hari gue dibikin kesel sama dia? Yang ada juga gue benci sama cowok gak tau diri itu!" tukas El sebal.

Karin tertawa mendengarnya. Merasa senang melihat wajah jengkel El. Ia melirik Nafisa. "Tuh, kan, Sa. Gue bilang juga apa. El gak mungkin suka sama cowok macam dia. Masih banyak cowok di dunia ini. Ngapain suka sama dia? Kalau gue, sih, seganteng apa pun Aslan, gue gak bakal suka sama dia!" ujar Karin yakin.

Gadis tomboy itu merengut sambil melirik Karin. "Ya, iyalah, lo gak akan suka sama Aslan. Di hati lo, kan, cuma ada Azzam seorang. Iya, kan?" tebak El dengan senyum menyebalkan.

"Heh, ngadi-ngadi lo!"

El dan Nafisa kompak tertawa melihat Karin melempar gulungan tisu ke arah lawan bicaranya. Puas melihat wajah merah padam Karin. El sangat yakin, Karin pasti malu dan kesal sekarang.

"Lo kalo ngomong emang suka bener, El," ucap Nafisa sambil menggelengkan kepalanya.

"Halah, gak usah ikut ngomong lo. Lo aja selama ini suka sama Reyhan, kan? Iya, kan? Ngaku lo!" tuduh Karin tiba-tiba.

Nafisa yang tidak terima tentu saja mengelak. "Enak aja. Eh, gue sama Reyhan itu cuma temenan! Mama gue aja yang ribet pake nyuruh si Reyhan jagain gue dari kelas empat sampai sekarang!"

"Lah, berarti udah lama banget, dong, kalian deket?" tanya Karin.

"Lama banget sampe gue bosen harus ketemu dia mulu," gerutu Nafisa seraya memanyunkan bibir.

El menepuk pelan meja mereka. Membuat Karin dan Nafisa sontak menatap gadis itu. "Wah, bahaya, sih, Sa. Jangan-jangan orangtua lo udah kasih restu dan berharap lo sama Reyhan sampe tua!"

Raut wajah El dan intonasinya yang serius membuat Nafisa membulatkan matanya. "Maksud lo? Nikah gitu? Sama Reyhan?"

"Aduh, jangan-jangan, nih, Sa, lo sama Reyhan udah dijodohin dari kecil. Kayak di novel-novel gitu," tambah Karin dengan raut wajah dibuat-buat. Bermaksud ikut mengganggu Nafisa.

"Sa, masa lo mau nikah sama orang kayak Reyhan? Lo tau, kan, dia gimana? Otak Reyhan, kan, kadang mereng, kadang lurus, lebih sering lagi belok-belok," ujar El lagi.

"Ih, apaan, sih, kalian berdua? Ngomongnya makin ngaco!" tukas Nafisa sebal. "Nggak mungkin itu. Kalaupun memang gue dijodohin sama Reyhan, gue bakal cari seribu cara buat membatalkan perjodohan itu!"

Kita & Luka {Tamat}Where stories live. Discover now