Teman Lama

89 29 5
                                    

"Gak ada kesempatan, Fat. Mana mungkin gue dikasih ikut olimpiade. Gue aja udah di-skors sekarang!" gerutu El sambil melempar bantal.

Fathia tersenyum menanggapinya. Dia yang tadi memberitahu El informasi terkait olimpiade tersebut. Mungkin dengan itu El punya motivasi kembali setelah tadi mood-nya hancur.

Tapi ternyata itu malah membuat El makin hopeless.

"Kamu masih punya kesempatan, El. Olimpiadenya masih beberapa pekan lagi, kok. Kamu bisa mengusahakan memperbaiki nilai. Siapa tau Pak Narji dan Pak Bambang jadi berubah pikiran."

Belum selesai sahabatnya berbicara, El langsung berkata, "Nilai sikap, Fat. Gue gak bisa, dong, mengubah sikap gue yang memang udah kayak gini dari lahir! Minimal gue perlu waktu sampai tamat SMA biar bisa alim kayak lo!"

"Yah, siapa juga yang minta kamu buat jadi kayak aku?" tanya Fathia. Mulai merasa bingung dengan arah pembicaraan sahabatnya.

"Tuh, Pak Bambang, Pak Narji, Oma, semuanya mau gue kayak gitu!" ujar El jengkel. Fathia terdiam karenanya.

Dalam hati ia membenarkan kalimat El. Cukup sering semua orang membanding-bandingkan dua sahabat itu. Bagaimana tidak? Mereka cukup berbeda. Fathia adalah gadis yang taat agama, ramah, murah senyum, dan penyabar. Sedangkan El adalah gadis yang senang mencari masalah. Kepribadian mereka yang bertolak belakang jelas membuat orang-orang bingung kenapa mereka bisa bersahabat. Lebih tepatnya kenapa El yang bertahun-tahun bersahabat dengan Fathia tidak ketularan alimnya Fathia atau Fathia yang tidak ketularan nakalnya El.

"El! Eliza!"

Sayup-sayup terdengar teriakan Oma Melati dari bawah. Membuat kedua gadis itu tersadar dari lamunannya masing-masing.

"El, kamu dipanggil, tuh. Kayaknya Oma mau minta tolong antarin kue, deh," ujar Fathia seraya bangkit dari tempat tidur. Ia berjalan menuju meja belajar dan membuka laptopnya. Masih ada pekerjaan yang harus ia selesaikan.

"Oh, ya, udah, deh. Gue ke bawah dulu, ya, Fat," pamit El. Dengan langkah gontai ia melangkah ke pintu.

"Iya, hati-hati, ya. Jangan sampai salah alamat lagi, lho," gurau Fathia tanpa menoleh.

El tertawa pelan sebelum akhirnya melangkah ke luar dan menutup pintu kamar. Dulu saat mengantar kue ia pernah salah alamat sampai si pemesan marah-marah karena kuenya telat diantar dari waktu yang telah dijanjikan.

Ia menghela napas melihat kesibukan di bawah sana. Oma Melati dan beberapa pengurus rumah sedang sibuk menyiapkan kue-kue pesanan yang harus diantar hari ini. Selalu saja begitu.

Masih tersisa kemarahan dan kekecewaan terhadap sikap Oma Melati tadi pagi. Atas dasar apa Oma Melati membandingkannya dengan orangtuanya? Tidak ada. Ia juga tidak akan pernah sudi jika harus dibandingkan dengan orangtuannya.

Ia tidak masalah kalau orang lain menyebutnya berandalan. Setidaknya ia tidak seburuk orangtuanya.

"Ada apa, Oma?" tanya El datar. Oma Melati menoleh padanya.

"Itu ada kue pesanan Tante Caca. Kamu masih inget, kan? Ibunya Nathan temen SD kamu itu, lho." Oma Melati melangkah mendekati kotak-kotak kue yang disusun di atas meja. Melihat-lihat kotak mana yang merupakan kotak berisi kue pesanannya.

"Tante Caca?" El mengernyit kebingungan ketika menyebut ulang nama tersebut. Terlebih ketika Oma Melati mengangguk, membenarkan ucapannya. "Bukannya Tante Caca udah pindah ke Bandung?"

"Iya. Tapi mereka baru aja pindah lagi ke sini. Tadi Oma gak sengaja ketemu sama Tante Caca di jalan. Habis ngomong-ngomong sebentar, Tante Caca pesan kue ke Oma. Kamu bisa, kan, antar kuenya?"

Kita & Luka {Tamat}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang